Keluarga Darayan, Misteri Rumah Gadai

Sisca Wiryawan
Chapter #25

Bab 24 Tanda


Sumber gambar" pixabay.com.


Tanda-tanda mungkin hanyalah simpati alam terhadap manusia.

-Charlotte Brontë, Jane Eyre.

____________________________________

 

CUNGCUING! CUNGCUING! CUNGCUING!

 

               “Ibu, itu suara burung apa, ya? Sudah 2 minggu aku mendengar suaranya,” ujar Dika yang sedang menyapu daun-daun kering di halaman rumah.

 

               “Itu burung cungcuing yang ditakuti orang Sunda karena membawa kabar buruk. Jika burung itu bernyanyi, maka ada anggota keluarga yang akan meninggal dunia atau sakit. Isunya, di dalam dada burung itu jika dibelah, ada selembar rambut manusia yang menandakan burung itu kerasukan roh jahat.”

 

               “Ah, berarti burung cungcuing itu memberi pertanda ketika Kak Ima sakit, ya?”

 

               Ibu menganggukkan kepala. “Jika terdengar suara burung cungcuing, kita harus segera melantunkan ayat-ayat suci sehingga anggota keluarga kita terhindar dari penyakit atau pun musibah.”

 

               “Kak Ima kan sudah berhenti menstruasinya. Tapi burung cungcuing itu masih bersuara, ya? Sepertinya, ia hinggap di pohon jambu air.”

 

               “Mungkin ia bersarang di sana. Ibu mau mandi dulu. Kau juga jangan berlama-lama menyapunya. Sudah hampir Magrib,” ujar Ibu. Ia pun masuk ke dalam rumah, meninggalkan Dika yang memeluk batang sapu lidi.

 

               Dika menghampiri pohon jambu air yang tumbuh tepat di luar pagar rumah Bu Hajjah Ria, tetangga samping kiri rumah gadaian ini. Berbeda dengan Bu Pia yang misterius dan mengejutkan, Bu Hajjah Ria berkepribadian sangat tenang. Bahkan, ia sangat penyendiri. Ia hanya keluar rumah saat menyapu daun kering di halaman depan rumahnya atau berbelanja sayur.

 

               “Dika, ini ada sepiring kue bolu nanas untuk Dika sekeluarga,” ujar Bu Hajjah Ria yang tiba-tiba keluar dari balik pohon jambu air.

 

               “Astagfirullah!” Seru Dika yang terperanjat. “Duh, Bu Hajjah. Jangan mengendap-endap seperti itu menjelang Magrib! Saya kan kaget apakah Bu Hajjah ini benar manusia atau hantu. Apalagi gamis Ibu sehitam bulu gagak.”

 

               “Hush! Sudah jelas kaki saya menapak.”

 

               Dika terkekeh sembari menerima piring berisi kudapan manis tersebut. “Wah, Bu Hajjah tahu saja kesukaanku. Alhamdullilah, saya bisa makan kue bolu ini bareng teh manis.”

 

Lihat selengkapnya