Keluarga Darayan, Misteri Rumah Gadai

Sisca Wiryawan
Chapter #28

Bab 27 Angker


Sumber gambar: pixabay.com.


Monster itu nyata. Begitu pun hantu. Mereka hidup di dalam diri kita, dan kadang-kadang, mereka menang.

-Stephen King.

__________________________

 

Bu Hajjah Ria menyodorkan dua toples kue kering kacang pada Ibu. “Satu toples untuk keluarga Ibu. Satu toples khusus untuk Dika. Ini kue kering buatan saya sendiri.”


Ibu tertawa. “Terimakasih banyak, Bu Hajjah. Dika pasti merayu Bu Hajjah. Anak itu banyak maunya.”


“Tak apa-apa, Bu. Dika anaknya ganteng dan sopan. Kasihan! Di area sini kan jarang makanan yang enak. Makanan yang dijual juga monoton. Paling ada juga gorengan dan buras tanpa isi. Dikasudah terbiasa hidup di kota yang kulinernya enak-enak.”


Ibu tersenyum mendengar pembelaan Bu Hajjah Ria. Emak-emak memang tak pernah tahan dengan pesona Dika.


Bu Hajjah Ria mendeham. “Kata Dika, keluargamu sering diganggu makhluk mistis?”


“Benar. Terutama Ima yang diganggu entah genderuwo entah lampor. Ima sampai sakit berminggu-minggu. Saya sendiri juga pernah melihat lampor yang menyerupai Bu Ika, penjual gorengan. Menurut Bu Hajjah, ganjil tidak jika lampornya menyerupai Bu Ika?”


“Mungkin karena Bu Ika sering menyusuri hutan dan sungai, ada hantu yang menempel pada dirinya.”


Ibu mengerutkan kening. “Benar juga.”


“Gangguan mistis apa lagi yang dialami keluarga Ibu?”


“Suami saya, Pak Darayan, diganggu kunti. Saya juga melihat qorin yang menyerupai Pak Darayan.”


Bu Hajjah Ria berbisik, “Di sini memang angker. Banyak warga yang walaupun bersembahyang, tetap melakukan pesugihan karena ingin menjadi orang kaya.”


“Audzubillahimindzalik. Masa, Bu Hajjah?”


“Benar. Ibu mengetahui rumah beratap biru yang dekat dengan warung Mak Eni yang berjualan sayur mayur?”


Ibu mengangguk.


“Pemilik rumah itu melakukan pesugihan. Awalnya, Pak Dian hidup melarat. Tiba-tiba ia kaya dan bertambah kaya dari usaha jual beli tanah pemakaman. Baru dua hari yang lalu ia meninggal dunia tanpa diketahui apa penyakitnya.”


“Innalillahi wainailahi rodziun. Usia berapa?”


“Masih muda. Baru 35 tahun.”


“Banyak orang yang tergiur materi. Padahal dengan kerja keras pun kekayaan bisa terkumpul.”


“Ingin kaya jalur instant.”


“Meninggal dunianya juga instant. Sayang sekali menyia-nyiakan usia.”


Wajah Bu Hajjah Ria tiba-tiba murung bagaikan lampu neon yang hendak padam. “Bu, semenjak saya tinggal di sini, banyak hal ganjil terjadi. Ibu pasti mengerti situasi yang saya alami karena hal tersebut juga terjadi pada keluarga Ibu.”


“Maksud Bu Hajjah?”


“Gangguan mistis. Tiba-tiba tadi Subuh, saya memperoleh kabar bahwa pembeli rumah saya di Depok tidak mau melunasi pembelian rumah. Tapi, ia sudah menempati rumah saya tersebut.”


“Bu Hajjah sebaiknya memohon bantuan notaris. Sepengetahuan saya, rumah yang belum lunas, belum boleh ditempati oleh peminat rumah. Kan bukan sistem KPR.”


“Iya, terimakasih banyak sarannya. Saya akan melakukannya. Pokoknya, sejak saya tinggal di area ini, mencari uang rasanya susah sekali. Saya ingin membuat musholla saja uangnya tak pernah terkumpul. Belum lagi uang belanja saya sering dicuri pocong-pocong cilik.”


“Aduh, seramnya. Dari mana asal pocong-pocong cilik itu? Bukankah pemakaman umum dengan desa ini berjarak agak jauh?”


Bu Hajjah Ria menghela napas. “Iya, cukup jauh. Letaknya di bukit. Tapi, Bu Darayan tahu tidak rumah berdinding kuning yang katanya angker itu?”


“Iya, saya selalu melewatinya jika berbelanja ke warung glosir Ceu Onah. Rumah kosong yang dekat dengan Madrasah? Pantas saja angker, tak dihuni manusia.”


“Rumah itu tak kosong.”


Ibu mengerutkan kening. “Masa? Tiap saya lewat, pasti pintu dan jendelanya tertutup rapat sekali.”


“Tapi ada ibu berusia 60 tahun dan anak perempuannya yang berusia 40 tahun yang tinggal di rumah itu. Mereka warga pendatang dari Jakarta. Ibu itu memang pemilik rumah itu sejak lama. Biasanya ia tak tinggal di rumah itu. Hanya mengontrakkan rumah saja. Karena tak laku dikontrak, mereka berdua pun menghuninya. Mungkin untuk membuktikan bahwa rumah itu tak angker.”


“Oh begitu. Sampah daunnya berserakkan. Jadi, saya pikir rumah itu tak berpenghuni.”

Lihat selengkapnya