Sumber gambar: pixabay.com.
Katakan pada hatimu bahwa ketakutan akan penderitaan lebih parah dari penderitaan itu sendiri.
-Paulo Coelho, The Alchemist.
_____________________________________
“Dika, Bapak takut mati! Bapak takut sekali mati!” Ujar Bapak sembari bercucuran air mata.
“Mengapa Bapak jadi melankolis seperti ini? Biasanya Bapak tak takut apa pun. Bapak baru menonton film tentang sakratul maut?”
Bapak menggelengkan kepala. “Kau lihatlah sendiri! Kulit Bapak berubah menjadi sangat hitam sejak kita pindah ke rumah gadai ini.” Bapak menunjuk wajah, tangan, dan kakinya yang bertambah hitam. Ia pun menyingkapkan kausnya dan menunjukkan perutnya yang hampir tak berdaging. “Tak peduli sebanyak apa pun Bapak makan, tubuh Bapak sangat kurus. Bapak sudah menyerupai kerangka berjalan,” keluh Bapak. Bahunya berguncang-guncang menahan isak tangis.
“Bagaimana jika Bapak dirawat saja di rumah sakit? Di sana Bapak bisa menjalani pemeriksaan laboratorium. Nanti Dika yang mengantar dan menunggui Bapak selama perawatan. Kita berangkat sekarang juga.”
“TIDAK MAU! BAPAK TAKUT! BAPAK TIDAK MAU MATI DI RUMAH SAKIT,” teriak Bapak histeris. Tangisnya bertambah keras. Ia memeluk Dika erat-erat hingga Dika gelagapan. “JUJUR DENGAN BAPAK! KAU INGIN MEMPERCEPAT KEMATIAN BAPAK? KAU SUDAH TAK MENYAYANGI BAPAK?”
“Dika bingung dengan sikap Bapak. Jika Bapak tak mau dirawat di rumah sakit, bagaimana Bapak bisa sembuh? Ibu sudah membuatkan berbagai herbal untuk Bapak, tapi hasilnya kurang signifikan. Sepertinya, Bapak mengalami komplikasi yang berefek pada organ dalam tubuh. Mungkin saja gangguan prostat Bapak mengarah ke kanker? Atau, Bapak mengalami omicron karena batuk berdahak Bapak tak kunjung sembuh?”
“POKOKNYA, BAPAK TAK MAU DIRAWAT DI RUMAH SAKIT. TITIK!” Teriak Bapak. Ia menghentakkan kaki dan meninggalkan Dika.
Aku yang baru saja menyelesaikan artikel mengenai review video horor, bertanya pada Dika, “Mengapa Bapak uring-uringan? Aku tak mendengar jelas perkataan Bapak karena tadi menyetel Youtube.”
“Bapak takut mati. Ia menangis dan memelukku,” ujar Dika sembari tersenyum misterius.
“Padahal Bapak cukup relijius. Mengapa Bapak takut mati? Bukankah kematian tak harus ditakuti, melainkan berbuat dosa?”
Dika mengangkat bahu. “Mungkin Bapak belum merasa siap untuk menghadapi sakratul maut. Manusiawi untuk takut menghadapi hal mengerikan tersebut. Tapi ia sama sekali tak mau dirawat di rumah sakit.”