Keluarga Darayan, Misteri Rumah Gadai

Sisca Wiryawan
Chapter #31

Bab 30 Jempol Kaki yang Iseng


Sumber gambar: pixabay.com.


Sekarang aku tahu apakah hantu itu. Yaitu, urusan yang belum selesai.

-Salman Rushdie, The Satanic Verses.

___________________________________

 

               “Pak Ustaz, mengapa saya diganggu pocong gosong?”

 

               “Maksud Dik Dika?”

 

               Dika menghela napas. “Pocong dengan wajah Almarhum Bapak yang gosong, menyamar menjadi guling saya tepat saat hari kematian Almarhum Bapak.”

 

               Ustaz Fajar pun tersenyum simpul. “Itu qorin. Mungkin karena Almarhum baru saja meninggal dunia.”

 

               “Sebelumnya, qorin juga beberapa kali menampakkan diri pada Ibu sebelum Almarhum Bapak meninggal dunia.”

 

               “Aneh sekali. Kadang-kadang itu terjadi menjelang ajal manusia yang didampingi si qorin.” 

 

               “Mengapa penampakan qorin Almarhum Bapak seram sekali? Saya pernah mendengar kisah qorin Nini Ita. Qorin tersebut hanya duduk di tanah makam sebelum manusia yang didampingnya meninggal dunia. Akhirnya, Nini Ita dimakamkan di tanah makam yang diduduki qorin-nya. Atau, qorin Bu Mila yang mendatangi Nisa, anak perempuannya di Jakarta karena tidak menghadiri pemakaman Bu Mila. Ia juga tidak kunjung menziarahi makam ibunya.”

 

               Ustaz Fajar termenung sejenak. “Hal itu tak perlu Dik Dika pikirkan secara mendalam. Memang amalan semasa hidup mempengaruhi. Tapi itu bukan merupakan ketentuan mutlak. Ada banyak faktor misterius mengenai qorin yang kita sebagai manusia biasa tak akan memahami. Kita harus berpikir hal-hal yang baik saja mengenai Almarhum.”

 

               “Bagaimana jika pocong gosong kembali datang setelah selesai tahlilan 7 malam? Malam ini tak ada tahlilan. Rumah pun kembali sepi. Apa Pak Ustaz mau menginap di rumah saya malam ini untuk membuktikan apakah qorin itu sungguh-sungguh sudah lenyap. Mau ya, Pak Ustaz? Nanti saya suguhi martabak keju kacang cokelat kesukaan Pak Ustaz,” bujuk Dika dengan nada memelas.

 

               “HAHAHA! Dik Dika ini rayuannya maut! Tahu dari siapa makanan favorit saya itu martabak? Tapi maaf saya harus membuka acara pengajian di Cisaat, Sukabumi, jam 8 malam ini.”

 

               “Tak bisakah salah satu santri Pak Ustaz menemani saya?”

 

               Ustaz Fajar menggelengkan kepala. “Jika mendadak seperti ini, sulit. Sembilan orang santri ikut bersama saya. Sedangkan santri yang menjaga pesantren hanya 2 orang, yaitu Ujang Adi dan Ujang Muchid. Santri lainnya sedang tak ada. Mungkin kau bisa meminta tolong tetangga?”

 

               “Tak ada yang berani. Mereka takut karena tahu ada penampakan pocong gosong. Salah saya sendiri. Seharusnya, saya tak menceritakan makhluk mistis tersebut pada Bu Ika yang ceriwis. Dalam sekejap kisah pocong gosong tersebar luas.”

 

               “Perkuat imanmu! Bukankah Dika rajin shalat dan mengaji? Masa takut dengan pocong gosong? Saya yakin kau pasti bisa mengatasi ketakutanmu.”

 

               Dika bergumam, “Tapi saya tetap takut…Apalagi malam ini malam Jumat.”

 

               “Ah, setiap malam itu baik di mata Allah Swt. Jangan terlampau percaya takhayul!”

***

               “Kak Ima merasa takut tidak malam ini?” Tanya Dika dengan serius. Kedua matanya seperti burung hantu akibat depresi memikirkan pocong gosong.

 

               “Biasa saja. Hanya jalanan depan rumah lebih hening.”

 

               “Sadar tidak ini malam Jumat Kliwon?” Bisik Dika.

 

               “Lalu, mengapa?”

 

               “Kak Ima cuek sekali. Bagaimana jika pocong gosong datang kembali?”

 

               “Kita kan sudah memakamkan Almarhum Bapak. Prosesi pemakaman berjalan dengan lancar. Tahlilan 7 hari pun sudah selesai. Semoga Almarhum Bapak tenang di sisi Allah Swt.”

 

               “Tapi bagaimana dengan qorin yang menyerupai Almarhum Bapak? Masa sekarang wujudnya pocong gosong yang seram sekali?”

 

               “Mungkin seperti Almarhum Bapak yang menyayangimu, qorin pocong gosong juga menyukaimu. Kau kan paling pandai memikat hati,” candaku sembari cekikikan.

 

               Dika meleletkan lidah. “Aku sangat serius, Kak. Kita tak tahu lho jika nanti Kak Ima yang dikunjungi qorin.”

 

               Aku berkata dengan penuh percaya diri. “Tak mungkin. Pasti kau lagi yang dikejarnya.”

 

               Ternyata aku salah besar. Malam ini memang bukan keberuntunganku akibat sugesti Dika yang keterlaluan. Manusia yang satu itu memang suka sirik. Jika qorin menakuti dirinya, maka aku pun harus mengalami penderitaan yang sama dengan dirinya. Sungguh pemuda yang tak gentle! Masih terbayang seringai Dika yang menjengkelkan. Di saat seperti ini, ia malah menginap di rumah Pak RW, Ujang Yusuf. Ia hanya memikirkan keselamatan dirinya saja. Sungguh egois!

***

               Malam ini aku hanya tidur berdua dengan Ibu. Aku tidur menempel di dinding. Saat kepanasan aku selalu senang menempelkan punggungku pada permukaan dinding yang dingin. Ibu pun berbaring di sampingku.

 

   Walaupun aku berpura-pura tak peduli, hati kecilku tak bisa berbohong. Aku takut dikunjungi qorin yang menyerupai Almarhum Bapak. Hanya aku di keluarga ini yang belum melihat qorin mengerikan tersebut. Tak bisakah qorin itu mengambil wujud ganteng ala Oppa Jaemin? 

 

               “Ibu sudah tidur, belum?” Tanyaku. 

 

               “Sudah.”

 

Lihat selengkapnya