Sumber gambar: pixabay.com.
Aku cukup mengetahui dunia hingga kehilangan hampir semua kemampuanku untuk terkejut oleh hal apa pun.
-Charles Dickens.
___________________________________
Tak terasa sudah 4 bulan aku tinggal di rumah gadai ini. Kejadian demi kejadian mistis berlangsung hingga puncaknya saat qorin yang menyerupai Almarhum Bapak menganggu seisi rumah, khususnya Dika.
Aku terkikik mengingat Dika yang ngompol karena diganggu qorin yang berupa kepala gosong Almarhum Bapak. Untunglah sejak saat itu, si qorin belum menampakkan diri kembali berkat Surat Yassin yang kami lantunkan setiap malam.
Aku: “Hallo! Alam, kok lama sekali datangnya? Kau lupa janjian kita? Aku sudah menunggu setengah jam di lereng bukit.”
Alam: “Maaf. Aku masih sibuk mengganti air kolam ikan. Kupikir akan segera selesai. Ternyata airnya kecil.”
Aku: “Jadi, bagaimana? Aku jenuh menunggu.”
Alam: “Kau berjalan-jalanlah dulu di sekitar lereng. Tapi jangan pergi ke area berbahaya. Aku akan selesai sekitar 45 menit lagi.”
Aku: “Baiklah!”
Untuk membunuh waktu, aku pun menyelusuri lereng. Ada gemericik air di bagian belakang bukit? Aku pun menghampiri sumber suara tersebut. Ternyata ada mulut sungai bawah tanah. Sepertinya air hujan deras membuat sungai bawah tanah meluap dan mencari jalan keluar sendiri melalui lubang di dinding lereng.
Airnya tampak begitu jernih. Warnanya gemerlap keemas-emasan karena ditimpa sinar mentari. Ia mengundangku untuk menyentuhnya. Kuraup air yang menggoda tersebut dan puas dengan kesejukkannya. Dinding lereng itu dipenuhi lumut hijau yang menggantung dan menempel di bebatuan hingga terkesan artistik.
Tiba-tiba aku tersentak. Tak jauh dari tempat aku berdiri, aku melihat sesuatu yang menyangkut di bebatuan dekat mulut sungai kecil tersebut. Rasa penasaran mendorongku untuk menghampirinya.
“AAARGH!” Teriakku. Aku hampir pingsan ketika menyadari benda misterius itu ialah kerangka manusia dan kerangka bayi. Makam yang amblas dan kerangkanya terbawa aliran sungai bawah tanah atau korban pembunuhan?
Tanpa kusadari, tiba-tiba lima pria dewasa berusia 25-30 tahun yang tampan dan kekar, berdiri tepat di belakang punggungku. Dengan gesit, mereka melompat untuk berpencar. Dalam sedetik aku berada dalam kepungan mereka.
Kelima pria tersebut berpakaian layaknya petani dengan kaus santai dan celana panjang. Badik dan arit di genggaman tangan mereka, tampak begitu mengancam.
“Apa mau kalian? Aku tak memiliki uang sepeser pun,” seruku panik. Tak mungkin aku bisa meloloskan diri.
Aneh sekali para pria tersebut! Walaupun kulit mereka sawo matang, mata mereka hijau neon seperti mata harimau! Bahkan, keanggunan wajah mereka mengingatkanku pada si raja hutan. Struktur tulang pipi dan rahang yang kokoh bak pahatan.