Sumber gambar: pixabay.com.
Masa lalu ialah kerangka yang melangkah di belakangmu, dan masa depanmu ialah kerangka yang melangkah selangkah di depanmu. Mungkin kau tak memakai jam tangan, tapi kerangka selalu memakainya, dan ia selalu tahu jam berapakah ini.
-Sherman Alexie, The Lone Ranger and Tonto Fistfight in Heaven.
_________________________________
Bu Nia terbelalak ketika dua orang polisi memasuki warung kopinya. Apa mereka mau jajan es kopi atau menangkap penjahat?
“Dik Ima Darayan?” Tanya polisi yang bertubuh tambun. Name tag-nya bertuliskan Agus Sopian.
Aku menganggukkan kepala. “Ya, Pak Agus. Saya Ima.”
“Mari ikut kami!” Seru rekannya yang bertubuh tinggi kurus. Ia pun menganggukkan kepala sembari tersenyum pada Bu Nia yang mulutnya menganga lebar seperti Gua Aladdin.
Aku menoleh pada Bu Nia. “Aku pamit dulu ya, Bu. Saat Alam datang, tolong katakan aku masih ada keperluan penting. Ia bisa menyusulku ke area sekitar lereng atau menungguku di sini saja.”
“Neng Ima, itu Alam baru datang,” seru Bu Nia dengan antusias. Pipi bakpaonya yang dipulas blush on tebal, tampak merah menyala akibat gairah menggebu. Ini sungguh berita besar! Ada kasus kejahatan apa yang melibatkan Neng Ima? Masa gadis tenang dan baik hati seperti Neng Ima sanggup menjadi penjahat yang diburu polisi?
Benar saja Alam yang tampil menawan dengan kaus hitam bersablon burung elang dan celana panjang jeans hitam, tampak berlari menghampiri. Rambutnya basah menempel di kulit kepalanya karena keringat. Tanpa mempedulikan adanya dua polisi dan Bu Nia, ia memelukku erat-erat. Ekspresi wajahnya yang biasanya setenang Kapibara, tampak beriak cemas. Aku yang jengah menjadi tontonan ketiga pasang mata pun, langsung mendorongnya dadanya keras-keras. “Apaan sih? Malu tahu.”
“Maaf aku terlambat datang. Kau tak apa-apa, kan? Kau pasti takut sekali. Ini salahku yang membiarkanmu sendirian di lereng hingga kau harus mengalami kejadian seperti ini,” seru Alam sepanik induk ayam. Aku memang telah memberitahu Alam melalui pesan WhatsApp bahwa aku menemukan 2 kerangka manusia di area sekitar lereng.
Pak Rudi, polisi yang wajahnya pemurung, berdeham. “Mari kita segera ke TKP (Tempat Kejadian Perkara)! Kami harus segera menyidik.”
Diiringi tatapan penasaran Bu Nia, kami pun meninggalkan warung kopi tersebut. Alam menitipkan motor bebeknya pada Bu Nia karena ia dan aku naik ke mobil dinas polisi, yaitu sedan yang diberi lampu sirine. Sungguh pengalaman yang mendebarkan! Jika aku merekam pengalamanku ini dan menguploadnya ke Tiktok, pasti viral.
Pak Agus memarkirkan mobilnya di area lapangan kosong. Dengan berjalan kaki, kami berempat pun menyusuri lereng bukit yang masih termasuk kawasan Gunung Halimun Salak.
Dengan jantung berdebar, aku menunjukkan tempat aku menemukan kedua kerangka tersebut di mulut sungai bawah tanah. Apakah kerangka tersebut masih berada di sana?