Sumber gambar: pixabay.com.
Kau hanya hidup sekali, tapi jika kau melakukannya dengan benar, sekali pun cukup.
-Mae West.
____________________________________
“Mengapa kau menghindariku terus-menerus?” Tuntut Alam.
“Tidak. Mengapa kau berpikir seperti itu?” Tanyaku lemah sembari menghindari tatapan Alam yang setajam belati.
“Sudah 5 kali kedatanganku, kau tak mau menemuiku. Aku menelepon pun tak kau angkat. Pesan WhatsApp dariku hanya kau baca, tanpa dibalas,” jawab Alam dengan gusar. Hilang sudah segala ketenangan karakter dalam diri Ujang Alam.
Aku mengembuskan napas sekuat mungkin seolah-olah dengan berbuat seperti itu segala masalah yang membentang di antara diriku dan Alam akan lenyap seketika. Tapi, itu mustahil.
“Aku sibuk,” jawabku singkat.
Alam mengernyitkan kening. “Kau mencurigaiku sebagai pembunuh Fira dan Arsya, si bayi.”
“Kau sendiri yang menyatakannya. Bukan aku,” sahutku dingin.
“Astaghfirullahaladzim. Aku tak pernah mengetahui bahwa Fira mengandung. Jika aku mengetahuinya, pasti aku sudah bertanggung jawab.”
Aku bergeming. Tak tahu harus bereaksi apa.
“Kau percaya padaku, kan? Kau tak akan meninggalkanku?”
“Entahlah. Kau tak pernah berterusterang bahwa kau menjalin hubungan cinta dengan kakak angkatmu.”
Alam menyugar rambutnya dengan resah. “Saat itu aku tak berpikir jernih. Kupikir aku dan Fira tak memiliki hubungan darah. Jadi, kami pun berpacaran atas dasar saling cinta. Tapi norma sosial tak seperti itu. Pak Amar yang merupakan bapak angkatku sekaligus pamanku, mengutuk hubungan kami berdua. Oleh karena itu, aku memutuskan hubungan dengan Fira pada malam yang terkutuk itu. Dan keesokan paginya ia menghilang. Aku sungguh menyesal. Jika aku tak memutuskan hubungan dengannya, mungkin ia dan bayi kami masih hidup.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku. Mengapa kau tak memberitahuku bahwa kau berpacaran dengan kakak angkatmu sendiri?”
“Haruskah aku menjawabnya? Tak semua hal harus dijawab,” ujar Alam sembari menatapku dengan pandangan ganjil.
“Tak ada lagi yang perlu kita bicarakan,” tegasku sembari membalikkan tubuh.
Alam menghela napas. “Sulit sekali bicara denganmu.” Ia pun memutar tubuhku dengan lembut dan memelukku erat. “Tak bisakah kau menebak alasan mengapa aku tak mengatakannya? Kau kan jauh lebih pintar dariku.”
“Aku ingin kau menyatakannya dengan jelas.”
“Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Dan takut kehilanganmu. Mana mungkin kau akan menerima cintaku jika kau mengetahui aku pernah berhubungan intim dengan Fira, kakak angkatku. Kemudian, ia menghilang. Sebenarnya, warga sekitar mencurigaiku sejak dulu. Apakah benar Fira melarikan diri ke luar kota atau aku membunuhnya diam-diam? Bertahun-tahun aku harus menelan semua kecurigaan mereka tanpa bisa membuktikan apa pun. Kumohon, jangan tinggalkan aku!”
“Aku bingung. Untuk sementara waktu, sebaiknya kita berpisah untuk menenangkan diri.”
Raut wajah Alam tampak keruh. Ia melepaskan rangkulannya dengan lesu. “Kuharap kau segera mengubah pandanganmu padaku. Aku tak seburuk yang kau kira.”
Maafkan aku, Alam! Aku belum bisa mempercayaimu 100%. Logika tetap harus selangkah di depan dibandingkan perasaan cinta. Aku tak ingin mati konyol seperti Fira dan bayi kalian.
***