Gerimis kecil-kecil menjadi lukisan sungai mengalir di jendela kaca. Dari sana, seberkas cahaya lampu kadangkala menyergap matanya yang tak sedikit pun terserang kantuk. Memasuki malam. Sudah sepi saja. Anak kecil yang belum lama tadi keisengan menendangi kaleng kosong di antara dua kursi kini tertidur pulas di dada ibunya. Seorang bapak berjaket dealer sepeda motor yang mengajaknya beromong kosong sedari jumpa juga telah terlelap menitipkan kesadaran pada secercah mimpi-mimpi. Diperhatikannya dengkur tipis dari hidung perempuan muda yang bau parfumnya bercampur keringat, menyerupai aroma resam karyawati pabrik. Sudah sepuluh jam perjalanan.
Ia sendiri tetap terjaga dalam pikirannya yang berisi wajah dua wanita yang menjadi awal dan akhir. Lampu yang terang benderang tak pernah bisa mengantarnya menuju kantuk, padahal ia merasa letih. Saban lima menit melirik arloji kembaran dengan milik pacarnya di pergelangan tangan. Hampir pukul dua malam. Ia berdiri sembari meregangkan punggungnya yang pegal, lalu berjalan ke toilet.
Di gerbong ekonomi nomor tujuh Kereta Api Harina yang menuju stasiun Bandung malam itu, menjadi langkah pertamanya untuk menepati janji sekaligus jalan yang harus ditempuh untuk meninggalkan kepahitan hidup. Walau di wajahnya nampak baik-baik saja, namun jiwanya tandus lantaran kenangan dan luka bertahun-tahun yang membawanya kepada sebuah pilihan, saatnya pergi jauh dari rumah.
Saat keluar dari toilet, ia berpapasan dengan polisi khusus kereta yang lewat dengan sepatu lars yang membuat kedua kakinya kokoh, sambil ita-itu, seolah memastikan segala sesuatunya baik-baik saja. Tatapan matanya sepintas berserobok dengan polisi kereta, ia tersenyum ramah dan memberikan anggukan kecil.
“Sampai mana ini, Pak?”
“Brebes, Mas.”
Setelah menjawab, polisi kereta memasuki gerbong selanjutnya. Meninggalkan ia sendiri, yang kini terpaku di depan pintu toilet, di bilik kecil yang menjadi pembatas antara gerbong satu dengan gerbong selanjutnya. Ia perlu menilik luaran melalui kaca, ke persawahan yang gelap dan lampu-lampu jauh. Hidup baginya kadangkala seperti mimpi, ada ketakutan, ada kecemasan, ada kesedihan yang coba ia hilangkan dengan susah payah. Bagaimana tidak! Ketika rumah sudah tak sudi menampungnya, ke mana kaki dilangkahkan kalau bukan buat tualang sambil membangun ketegaran.
Air dari keran di toilet barusan tersisa sedikit dan terasa lembab di jemari tangannya. Ia gunakan buat merapihkan kumisnya yang kadang butuh sentuhan. Pandangannya belum beralih dari persawahan dan lampu-lampu jauh, sampai sawah-sawah itu hilang berganti kelebat rumah-rumah yang semburat di sepanjang tepian rel. Ia sedang menghadapi tanda tanya. Ketika semuanya tak lagi menarik, ia tarik mata dan tubuhnya dari kaca dan berjalan perlahan menuju tempat duduk. Kembali yang terdengar adalah gelegar roda kereta yang menggilas rel, seperti derasnya hujan bercampur badai.
Ia rogoh saku jaket, melihat ponsel yang ternyata berisi beberapa pesan singkat BBM[1] dari ibunya.