Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #3

Masa Lalu

Hatinya mendadak nyeri didekap sepi akibat perasaan pedih yang berlesatan bagai bintang jatuh di sela-sela mimpi.

 Waktu itu, Ipan masih anak-anak. Rasanya belum genap tujuh tahun. Ketika ibunya harus bercerai dengan sang ayah yang sudah tidak bisa untuk diajak bertahan. Ibunya memilih pulang ke Surabaya. Di dalam bus antar kota yang kumuh bagai jelaga kusam menahun, beraroma besi berkarat, serta sesekali tercium bau pesing yang hinggap di hidung, mungkin berasal dari kencing curut atau tikus yang bermain petak umpet di lubang-lubang kursi penumpang. Ipan kecil terduduk di samping ibunya yang bermata sayu menatap luaran dari kaca jendela bus. Ipan tahu ibunya tengah menahan air mata yang teramat sukar buat dibendung, olehnya sang ibu terus menerus menghadapi jendela kaca. Sebagai seorang ibu ia tak sampai hati menunjukkan kepedihan kepada anaknya yang masih belia, anak yang semestinya bisa bersenang-senang di luar sana tanpa harus memikirkan nasib ibu yang melahirkannya.

Ibu dan anak yang seharusnya bercengkrama di dalam rumah, lalu merasa aman karena adanya sosok ayah yang mengayomi. Hal itu tidak pernah dirasakan oleh Ipan sepanjang ia mengingat.

 Dasar anak kecil, bagaimanapun ia tetaplah anak kecil. Meski hati kecilnya tahu kalau ibunya sedang pedih. Saat nampak di matanya seorang pengasong tawarkan jajanan, Ipan menjawil tangan kuning langsat ibunya.

 “Buk, aku mau telur puyuh.” Pinta Ipan dengan tatapan beradu dengan mata sayu ibunya.

 “Yang dingin, yang dingin. Teh, Aqua, tahu, telur…” Tawar pengasong, tanpa peduli nasib pembeli.

 Ibunya menggeleng. Si pengasong tersenyum kecut dan berlalu. Ipan nelangsa dan sedih, ia merasa lapar dan ingin makan telur puyuh. Ibunya memeluk Ipan, sambil berbisik.

 “Maafkan Ibuk ya, Nak, Ibuk belum ada uang…”

Saat itu pertama kalinya Ipan mendengar tangis ibunya yang begitu parau. Ipan ikut terisak, jiwa kecilnya seakan tahu kalau ibunya jujur, tiada niat untuk menolak permintaan yang sederhana itu dari anaknya. Uang benar-benar tidak ada, hanya cukup buat naik bus sekali jalan. Ipan menenggelamkan kepala ke samping perut ibunya, ia meringkuk, menangis pedih tanpa suara. Serak beringus, lendir-lendir bercampur air mata membuatnya sukar bernafas. Tangan ibu yang dikasihinya mengelus ubun-ubun, sampai bocah kecil itu tertidur tanpa pernah tahu, kapankah semua kebuntuan ini akan berakhir.

Di dalam gelap yang belum lama ia rasakan, seseorang menepuk pundaknya, kegelapan berangsur sirna, kesadaran yang belum lama pergi kini kembali. Ipan membuka mata, terbangun dari mimpi, dan menyadari dirinya masih di dalam Kereta Api Harina menuju Bandung. Ia mengingat mimpi yang barusan, tak hanya melekat namun juga rekat di ingatan. Sampai hari ini jika ia melihat pengasong dan telur puyuh, ia akan ingat kejadian itu. Ditatapnya seorang bapak berjaket dealer di sampingnya tengah tersenyum ramah. Senyum si bapak membuat Ipan tak bisa untuk tidak tersenyum. Bapak yang saat baru bertemu tadi menceritakan banyak hal, menceritakan anaknya yang bekerja di Surabaya, seumuran Ipan.

“Sudah sampai, Mas.” Seru si Bapak.

“Iya, Pak.”

Lihat selengkapnya