Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #4

Punk Hari Ini

Lelaki yang lahir di bulan Juli itu bernama Sonya. Daun telinganya berlubang pearcing yang amat besar, seukuran tutup botol minyak angin. Baginya hal itu adalah usaha membebaskan diri dari hal-hal yang dianggap tabu dan norma yang membelenggu di tengah masyarakat yang terikat stereotip usang (prinsipnya beberapa tahun yang lalu). Kerah leher yang tidak dilipat itu sengaja diberdirikan untuk menutup tato yang melingkari lehernya, apalagi kalau ia buka baju, terlihatlah berbagai macam gambar yang memiliki berbagai arti filosofis yang begitu complicated. Biasanya ia memakai kalung spike, model kalung yang dikenakan anjing piaraan, namun akhir-akhir ini kalung itu ia simpan di nakas kamarnya. Ia mulai menyerah kepada keadaan, ia mulai mengingkari kata-kata yang dahulu ia ucapkan dengan bangga perihal ideologi kaum marjinal, Punk is the best way of life. Kini ia mulai realistis, kalau tidak bekerja ia tidak makan. Kebutuhan hidup mulai membuatnya terbangun dari idealisme.

Semenjak bercerai dengan istrinya, kini pagi-pagi ia telah bangun, rantai di pergelangan kakinya menggelinjang, tato-tato di sekitar betisnya bergetar pelan ketika ia berjalan ke garasi untuk menstarter motor milik ayahnya. Ia tengah memanaskan mesin, sebentar lagi bergegas menuju Pasar Wonokromo untuk membantu orangtuanya berjualan pakaian.

Asap putih dari knalpot motor berkepul-kepul tipis, jemari tangannya menggenggam gas yang kadangkala ia mainkan, sehingga menimbulkan suara bising mesin yang timbul tenggelam untuk memberi kode kepada Mbak Fitri supaya bergegas. Kebetulan motor milik ayahnya yang sering ia pakai itu memiliki knalpot cempreng layaknya bunyi kentut perahu nelayan.

Iyo-iyo, sabar Koen! Arek kok gak sabaran![1] Teriak Mbak Fitri setengah berlari, tergopoh, sembari mengenakan sepatu kanan dan kiri.

Tanpa menunggu komando, Mbak Fitri melompat di boncengan. Mbak Fitri adalah kakak kandung Sonya, ia bekerja sebagai guru honorer di SMP Budi Utomo. Suaminya meninggal karena serangan jantung saat berolahraga setahun yang lalu, anaknya masih balita dan diurus oleh ibu mereka, ibu Fitri dan ibu Sonya. Mbak Fitri bisa melakukan banyak hal, mengajar, memasak, menjahit, mencuci pakaian, menyapu, mengepel, memandikan anak, atau pekerjaan apa pun yang berbau ibu rumah tangga, yang ia tidak bisa hanyalah mengendarai sepeda motor. Saban pagi sebelum ke toko adalah tugas Sonya agar sekalian mengantar kakaknya.

Sewaktu motor berhenti dan Mbak Fitri turun dari boncengan, Sonya menggenggam rem dan berkaca sekilas melalui spion. Sonya sempat memencet komedo di sekitar hidungnya dengan kuku-kukunya. Mbak Fitri melihat Ipan di seberang jalan, lalu memanggilnya.

“Ipan!”

Menengoklah Ipan yang baru keluar dari warung nasi pecel di depan SMP Budi Utomo. Ipan seperti umumnya lelaki Jawa Timur yang hampir selalu mencintai nasi pecel. Pecel Boy adalah harga mati. Dilambaikannya tangan ke arah Mbak Fitri. Sonya ikut memandang Ipan dengan senyum perdamaian, Ipan mengalihkan pandang kepada Sonya sambil mengacungkan jari tengah tinggi-tinggi. Sonya menggeleng sambil tertawa, sejurus kemudian Ipan menyeberang jalan.

Tahun-tahun terakhir ini, Ipan dan Sonya memang jarang bertemu, karena sudah pada sibuk urusan masing-masing. Paling-paling bertemu kalau ada acara keluarga atau saat hari lebaran. Ibu Ipan dan Ayah Sonya yang gemar memakai sarung adalah saudara kandung, karenanya Ipan dan Sonya adalah saudara sepupu yang lahir dua puluh empat tahun silam. Ipan lebih tua beberapa bulan. Namun, wajahnya terlihat lebih muda dari wajah Sonya. Penyebabnya adalah gaya hidup keduanya yang jauh berbeda. Sonya perokok berat, hobi begadang, serta alkoholik. Walau semua kebiasaan itu perlahan berkurang karena penghasilannya selama ini tidak begitu bagus. Pun beberapa teman nongkrongnya sudah pada berbini dan beranak, sehingga tak sempat lagi kumpul-kumpul sampai menjelang pagi atau untuk teler bersama-sama.

Setelah menyeberang jalan. Ipan mengobrol dengan kedua sepupu yang tak terasa kini sudah sama-sama dewasa.

“Mampir ke rumah, Pan?” Mbak Fitri beramah-tamah.

“Iya nanti, Mbak. Ini Mbak Fitri sama Sonya udah pada sarapan belum?”

“Udah, Sonya tuh yang belum.”

“Aku baru ngopi tadi. Nggak level lah sama pecel, badanku bisa gatal kalau makan makanan murah semacam nasi pecel.” Sonya mencoba melucu tapi gagal.

“Sok kaya, padahal aslinya kaum dhuafa.” Mbak Fitri mengeplak kepala Sonya, lalu beralih pada Ipan yang cengengesan. “Dari rumah ibukmu?”

“Iya, Mbak. Sudah semingguan nggak ketemu ibuk.”

“Kamu tinggal di mana?”

“Lebih sering numpang di kontrakan teman kuliahku.”

Owalah…. Yoweslah…, Lanjut sama Sonya. Aku masuk dulu, udah telat nih.”

“Iya, Mbak. Benar-benar kalau ngajar anak orang.” Jawab Ipan mempersilakan.

Mbak Fitri berlalu sambil tersenyum.

“Motormu mana, Pan?” Sonya bertanya.

“Kukirim ke Bandung.”

“Bandung? Persib?” Sonya berpikir.

“Iya, aku dapat kerja di Bandung.” Ipan menjelaskan. Tapi karena lalu lintas sedang ramai, sebuah mobil membunyikan klaksonnya. Sonya dari tadi berhenti di tepi jalan dan menghalangi mobil itu lewat. Belum sempat Sonya berpindah, mobil itu membunyikan klakson untuk kedua kalinya.

Lihat selengkapnya