Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #5

Selamat Pagi Bandung

Lelaki muda yang lahir di bulan Desember, berbadan lencir, hobi berbusana gelap dan aromanya seperti citrus itu adalah teman Ipan. Ia tengah menelepon Ipan dan mengarahkannya ke pintu utara stasiun. Di pintu utara itulah ia menunggu di kursi berderet di depan loket pemesanan karcis yang hanya nampak beberapa orang sedang mengantre. Stasiun memang tidak pernah tidur, ada saja para pelancong yang mempersiapkan perjalanan subuh-subuh begini. Lelaki itu bernama Dasep, ia anak orang kaya yang sangat loyal kepada teman-temannya. Saat ini atau semenjak lulus kuliah dua bulan yang lalu, ia aktif membantu kakaknya mengelola usaha clothing dan distro di salah satu sudut Kota Bandung.

Sementara tak jauh dari kursi Dasep, duduk seorang perempuan yang ikut menunggu Ipan. Perempuan manis, berkulit cerah, dan bermata sayu. Yang dengan dada berdebar dan perasaan sukacita menanti pacarnya datang.

Ipan dari kejauhan melihat keduanya, Dasep sahabatnya, dan juga perempuan itu, pacarnya. Semakin dekat langkahnya jadi semakin ringan seperti menggiring angin.

“Phuspa, Dasep...” Ipan menyeru dan berlari riang, seperti Rahul yang berlari ke arah Anjeli.

Dasep dan Phuspa bangkit, Ipan masih berlari dan menubruk Phuspa. Airmata Phuspa tumpah karena haru. Keduanya berpelukan melepas rindu, karena sudah hampir setahun ini menjalani hubungan Long Distance Relationship. Detik itu juga kerinduan yang rimbun berguguran. Dasep mendekat dan menegur keduanya.

“Aduh, sudah pelukannya. Ini tempat umum, woi.”

Phuspa melepaskan pelukannya sembari tersenyum penuh arti dan masih dengan airmata berderai-derai di sekitar kelopak matanya yang berusaha ia usap dengan tisu. Namun, Ipan belum rela melepaskan pelukan. Ia begitu bahagia sekaligus ingin menangis, mengenang waktu-waktu yang sudah berlalu dan juga begitu hampa ketika jauh dari seseorang yang begitu ia cinta.

Dasep menggeleng sambil mendengkus, “Kuch kuch Ho Ta Hai!”

Selesai memeluk Phuspa, Ipan dan Dasep bersalaman. Keduanya saling menepuk bahu, beramah tamah, dan saling tertawa karena sudah dua bulan ini tidak bertemu. Dua bulan lalu, Dasep pulang ke Bandung setelah lulus kuliah dari Surabaya. Dan hari ini, takdir kembali mempertemukan mereka.

Ketiganya melangkah meninggalkan stasiun Bandung yang terkepung mendung hingga menjelang pagi. Di langit nampak masih gelap karena di beberapa sudutnya bertengger awan-awan kelabu yang cukup gemuk.

Dari Stasiun Bandung ketiganya hendak bergerak menuju perumahan dinas militer aktif di sekitar Bandara Husein Sastranegara. Sebuah rumah dinas, tempat tinggal Dasep bersama ayah, ibu, dan kakak perempuannya. Ayah Dasep merupakan perwira tinggi TNI Angkatan Udara merangkap Ketua RT di komplek itu.

Dasep yang mengemudi, Ipan di kursi depan dan Phuspa di kursi kedua.

“Bandung semalam hujan deras.” Ucap Dasep menjelaskan hal yang tidak perlu dijelaskan, Ipan sudah tahu karena jalanan masih basah dan beberapa titik tergenang air yang sukar meresap ke dalam selokan. Masalah selokan adalah masalah hampir semua kota metropolis di negeri ini. Ipan hanya mengangguk beberapa kali, tanpa suara.

Phuspa masih diam dan ikut memandangi rintik hujan di kaca depan yang disapu oleh wiper, barangkali canggung bertemu pacarnya, karena setahun terakhir dengan Ipan ia hanya berkontak melalui telepon dan aplikasi chat. Perpisahan yang begitu lama bisa saja menjejalkan rasa canggung di hati keduanya.

Lihat selengkapnya