Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #6

Keluarga Dasep

Masih di hari yang sama ketika kedatangan Ipan beberapa jam lalu di Kota Bandung, ia sampai di rumah keluarga Dasep dan beramah tamah. Ipan selalu bangga menatap potret keluarga yang terpajang di ruang tamu, keluarga inti Marsma Suyanto yang tersenyum dengan istri dan ketiga anaknya. Dasep adalah anak ketiga. Kebetulan ini kali ketiga ia berkunjung ke rumah Dasep, sehingga sedikit banyak ia telah mengenal keluarganya. Selesai menaruh barang-barang dan mandi pagi yang terasa begitu dingin. Keduanya duduk mengepung meja kayu di depan sebuah kamar yang dinaungi bebatangan pohon Jambu Kristal yang mulai berbuah, namun masih pentil. Teh tawar yang menjadi kebiasaan orang-orang Sunda belum begitu akrab dengan lidah Ipan, ia habis mengambil sesendok gula pasir di dapur, lalu menceburkannya ke gelas teh miliknya, gula itu turun pelan dan melayang-layang di dalam air teh yang masih hangat. Ia mengaduk-aduk gelas tehnya dengan sendok stenlis sambil menyibak lembar demi lembar koran pagi.

Di atas kepala Ipan dan Dasep menggantung beberapa pesawat tempur dengan berbagai model dan bentuknya. Ayah Dasep memang perwira Angkatan Udara yang bekerja di divisi perancangan pesawat tempur. Olehnya sungguh tidak masuk akal bila Dasep malah tertarik pada dunia visualisasi hewan-hewan.

“Mungkin kamu bukan anak, ayahmu.” Celetuk Ipan ketika meledek Dasep. Tapi hatinya juga satir karena ia juga berbeda dengan ayahnya.

“Buah bisa saja jatuh jauh dari pohonnya, karena dipatuk burung dan dibawa terbang.” Jawab Dasep dengan ketenangannya.

Rumah yang asri dan banyak pohon membuat Ipan kerasan dan betah, ditambah lagi keluarga Dasep begitu hangat dan sangat menghargai tamu. Ibu Dasep sengaja membuat pisang goreng kesukaan hampir seluruh orang di negeri ini untuk sarapan pagi mendahului nasi. Ipan rada iri dengan suasana keluarga Dasep yang menurutnya begitu ideal, harmonis, dan berkecukupan. Sangat berbeda dengan keadaan keluarganya sedari ia kecil.

“Hei, kenapa kamu senyum-senyum sendiri?” Ucap Ipan ketika melihat Dasep yang sumringah.

Dasep belum menjawab, ia habis menyeruput teh dan menenggak pisang goreng di atas piring. Di tangannya pisang goreng yang ke tiga. Ia memang sedikit rakus dalam urusan mengisi perut.

“Kamu tahu, Pan. Tadi pagi aku melakukan hal yang sia-sia!”

“Apa?”

“Menasehati orang tidur.”

Ipan cuma senyum-senyum, ia tahu Dasep sedang membicarakan dirinya.

“Ipan, Ipan, kamu ini tidur seperti burung unta di padang sabana Afrika.”

“Sudah ribuan kali kamu mengatakan itu, sampai aku hafal.” Ipan menyela sambil terkekeh, lalu meneruskan. “Burung unta di Afrika tidur sambil membuka mata, lumba-lumba laut tropis tidur sambil berenang, kuda bisa tidur sambil berdiri karena mengunci engsel di lututnya...” Ipan berhenti.

“Dan satu lagi, Pan! Aku baru tahu, kalau burung Cikalang di Pulau Natal bisa tidur sambil terbang.”

“Aku juga bisa tidur sambil terbang!” Ipan tak mau kalah.

“Caranya?”

“Naik pesawat!”

Anying.” Dasep terkekeh.

National Geographic Wild dan Animal Planet adalah acara tivi yang dicintai oleh Dasep. Seolah-olah National Geographic divisi hewan adalah bagian dari nadi hidupnya. Sejak kecil, hingga dewasa kini, jika ia melihat burung terbang, ikan yang berenang, gorila yang menyeringai, singa yang mengendap-endap, monyet yang bercinta sambil bergelantung, atau buaya yang mencaplok mangsa di layar tivi akan membuat dadanya berdegub kencang karena senang. Lagipula hewan-hewan itu, kesemuanya adalah mahkluk yang menyimpan begitu banyak keajaiban. Penjelasan yang gamblang dari narator dan teknik pengambilan gambar yang mumpuni membuat Dasep banyak mengingat hal-hal menakjubkan dari siaran National Geographic, lalu mengambilnya sebagai filosofi kehidupan. Namun, hobinya itu hanya sekedar hiburan yang tak berwujud secara kenyataan. Ia hanya menggemari dunia hewan dalam bentuk visual dokumenter, belum pernah ia memelihara seekor burung, truwelu, atau kucing dengan alasan merenggut kebebasan mereka.

Berbeda dengan Ipan yang hidup dengan bekerja keras, Dasep sering bercerita kepada Ipan, bahwa ia tidak pernah hidup kekurangan. Semuanya tercukupi, bahkan bisa dikatakan lebih. Keduanya bertemu di awal-awal masa kuliah. Usia Dasep dua tahun di bawah Ipan, tetapi perihal pikiran dan wawasan, ia tergolong dewasa dan nyambung bila dimintai saran perihal apa saja. Selain itu, Dasep sosok yang easy going, sedikit nyentrik dengan kebiasaan berbusana gelap seperti hitam dan biru dongker. Dasep berkepribadian sanguinis, dan selalu mengupayakan yang termudah dan yang terbaik untuk dirinya dan juga untuk teman-temannya. Namun, ia sedikit manja karena agak pilih-pilih makanan dan tidak tahu cara mencuci pakaian sendiri. Kecuali celana dalam, semua pakaian ia serahkan kepada jasa laundry.

Ipan meletakkan koran di atas meja, lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Di tangannya segelas teh hangat dan ia menyeruput dengan bibirnya yang awalnya terasa dingin. Pikirannya merenungi sejenak perjalanan panjang sampai ke Bandung. Hari ini adalah hari yang indah, setidaknya ia sudah satu kota dengan Phuspa. Salah satu mimpi terbesarnya dan sedang berprogres adalah menikahi Phuspa apa pun yang terjadi.

Semoga dia lekas menjadi yang selalu dan selama-lamanya. Ipan mencintainya sejak bangku kuliah, Ipan pun dicintainya. Kisah yang tak asing bagi pemuda-pemudi yang menuntut ilmu di perguruan tinggi. Tentang terpesona, tentang ketertarikan, tentang cinta muda yang penuh letupan. Semua itu terjadi ketika Ipan dan Phuspa didapuk menjadi sie acara kegiatan LKMM[1] yang dilakukan melalui camping di area wisata hutan. Phuspa adalah kakak tingkat satu tahun di atas Ipan dan Dasep. Phuspa sejak awal memang manis, tapi waktu itu Ipan belumlah merasakan getarannya. Ia masih dingin dan bersikap biasa saja. Lagipula Phuspa bukan tipenya dan juga waktu itu Phuspa sedang dekat dengan teman sekelasnya yang bernama Mas Eko. Mas Eko adalah seorang komandan resimen mahasiswa berbadan kekar dan bermuka Jawa. Ia cukup terkenal seperti para komandan yang terhormat atau ketua kegiatan pada umumnya kehidupan pemuda-pemudi kampus. Dan karena itu, Ipan hanya menjalankan tugas menjadi sie acara berdasarkan jobdesk yang diberikan, tidak lebih, tidak kurang. Nyatanya setelah bekerja bersama Phuspa selama empat hari dan bertukar kontak HP. Rasa di dada Ipan mulai ganjil. Selepas acara empat hari di hutan itu, dari mulanya saling menelepon dan berkontak melalui pesan aplikasi BBM untuk sekedar berkoordinasi tentang kepanitiaan, berlanjut menjadi basa-basi dan saling mengomentari status. Hubungan itu berlanjut menjadi teman curhat antara adik tingkat dengan kakak tingkat. Keduanya mulai nyaman satu sama lain.

Lihat selengkapnya