Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #7

Remaja Pencari Perhatian

Broken Home bukan lagi sekedar istilah yang ganjil untuk dibahas lebih jauh. Data beberapa tahun terakhir menunjukkan sekitar 9,8 persen remaja di Indonesia mengalami mental emosional disorder atau gangguan kesehatan mental yang salah satu penyebab utamanya adalah perceraian orangtuanya. Angka tersebut terus naik secara signifikan karena survei sebelumnya hanya di angka 6,1 persen. Fakta ini sebanding dengan angka perceraian yang terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.

Pernah ada satu kejadian di masalalu yang hingga hari ini masih selalu rekat di ingatan Ipan. Ia pernah menyakiti hati ibunya sedemikian dalam, sehingga ibu yang telah melahirkannya itu menangis di depan kepala sekolah. Ibunya meminta, bahkan memohon dengan sangat, agar Ipan tidak dikeluarkan dari sekolah. Airmata ibu yang disayanginya itu kembali tumpah di hadapan Ipan sejak hari perpisahannya dengan ayah. Airmata yang menjadi percik perih di hati Ipan untuk yang ke sekian kalinya.

Segalanya mulai nampak saat Ipan remaja, di mana pergaulan nakal menjadi kebanggaan. Sebagian besar psikolog anak berpendapat, anak dari orangtua yang bercerai bisa menjadi anak yang cenderung memiliki rasa kurang percaya diri atau malah sebaliknya, menjadi anak yang mengharap perhatian lebih dari siapa saja. Ia menjadi anak pecemburu, anak yang tak segan menyakiti agar diperhatikan, anak kalap yang selalu siap membuat konfrontasi, anak yang mencari cara agar menjadi yang nomor satu. Ditambah lagi, usia remaja adalah usia paling rentan yang begitu sulit untuk diarahkan, sehingga apa saja yang melingkupi kehidupan Ipan remaja menjadi kurang terkendali. Lihatlah aku, dunia! Aku ada! Hati Ipan waktu itu begitu rentan dan sensitif. Perhatikan aku duhai dunia! Aku benci terbuang! Aku benci diremehkan! Mengertilah perasaanku!

SMP Negeri 55 Surabaya, beberapa tahun silam. Di salah satu sudut toilet yang terlihat bobrok. Penuh coretan spidol tentang perasaan masing-masing remaja pencoret tembok. Ada juga nama-nama dan tanda tangan yang disematkan di sana, seolah mengabadikan diri. Ada pula nama geng dan tokoh dari dalam komik yang dianggap keren, belum lagi pemegang sabuk dalam gulat smack down ikut pula menghiasi majalah dinding tembok toilet. Yang paling menggelitik adalah tulisan, Kim Bum saranghaeyo.

Ada sedikit keributan dan kasak-kusuk di antara bau pesing. Anak remaja yang dijambak rambutnya oleh kakak kelas itu bernama Sonya Langlang Buana.

“Ampun, Mas. Aku nggak punya uang!” Sonya meringis. Pipi dan dadanya menempel ke dinding toilet.

“Bohong Cuk! Ini kan masih pagi, masak kamu nggak diberi uang saku!” Bentak seorang anak nakal bertubuh kecil, berkulit hitam, tapi begitu terkenal kebengalannya. Namanya Anjas, anak kelas dua yang memiliki geng hingga kelas tiga. Tak seorang pun anak kelas satu berani kepadanya, resikonya dikeroyok dan dirundung. Anjas terlanjur ditakuti. Ia remaja yang super nakal dan tak segan-segan menyakiti. Temannya juga banyak!

Dengan diawasi temannya yang berjaga di pintu toilet, Anjas leluasa menjambret dan menjambak rambut Sonya.

“Anjas ada guru!” Bisik kawannya yang mengawasi keadaan di tepi pintu toilet.

“Diam kamu! Kamu berani teriak, mampus!” Ucap Anjas menyuruh Sonya diam.

Sonya takut setengah mati. Dasar anak kecil, selalu takut kepada ancaman. Ia menyerah ketika tasnya digeledah. Uang sakunya dipastikan raib, ia tak akan minum atau jajan hari ini. Entah kenapa dalam posisi demikian, airmatanya titik. Sonya masihlah cengeng dan penakut, ia masih polos, belum ada tato di tubuhnya, kupingnya belum bertindik. Ternyata anak-anak di luar sana tidak pernah sebaik Ipan sepupunya. Ternyata keberanian Sonya hanya isapan jempol, padahal di depan Ipan ia selalu sok berani, selalu menganggap Ipan lebih lemah dari dirinya.

“Kamu lapor guru, kamu mati!” Ucap Anjas sambil melemparkan tas yang telah diacak-acak ke muka Sonya yang terduduk lesu. Sonya mulai sesenggukan, airmata begitu sukar ia hentikan, ia dicekam takut dan pilu karena ulah Anjas. Ia akan malu jika masuk kelas dalam keadaan mata yang demikian, sembab! Mata berkaca-kaca adalah aib bocah lelaki. Ia memilih bertahan di dalam toilet, mengunci diri, sembari cuci muka sesering mungkin, agar bekas tangisan lekas hilang dari kelopak matanya. Sementara Anjas yang menjarah uangnya telah melenggang dengan bangga menuju kantin.

Bel penanda jam istirahat berdentang. Ipan menuju kantin, ia habis kabur dari pelajaran matematika yang belum pernah ia suka. Ia lebih senang tiduran di UKS sambil pura-pura pusing setelah datang terlambat di jam pelajaran pertama. Hampir setiap hari ia datang terlambat ke sekolah, bahkan tanda tangan pernyataannya; Tidak akan datang terlambat lagi telah tertumpuk di kolom daftar siswa terlambat. Ia samasekali belum kapok.

“Ipan lagi, Ipan lagi!” Geleng dan dengkus sekuriti gerbang setiap pagi. Dari hari ke hari Ipan semakin akrab dengan orang itu.

“Iya Pak, ban sepedaku bocor.” Ipan berdusta.

“Bapak sudah nggak percaya, isi daftar terlambat!” Sekuriti mengambil dua permen dari kantongnya, satu ditelan sendiri, dan…. “Kamu mau permen?”

“Mau pak.” Ipan menangkap permen yang dilemparkan sekuriti.

“Tunggu di sini, tunggu dihukum sama Pak Nur.”

Setiap hari guru yang menghukum siswa telatan adalah orang yang berbeda, memang sudah ada jadwalnya, dari yang killer sampai yang penyayang, semuanya mengenal Ipan. Hukumannya tiap hari berganti, kadangkala nyapu mushola, kadangkala memunguti rontokan daun dan plastik, kadangkala merapikan parkir. Ipan lebih senang hal-hal yang demikian daripada duduk mengantuk di bangku. Entahlah, nampaknya itu semua merupakan aksi yang dianggap positif dari bocah patah hati pencari perhatian.

Lihat selengkapnya