Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #8

Airmata Ibu

Ipan cukup cerdas untuk memancing kucing liar sekolah, si brengsek Anjas penguasa toilet bau pesing supaya mengejarnya. Beberapa hari terakhir, ia melakukan pengamatan dan observasi, siapa saja remaja sekolah yang dekat dengan Anjas, akan ia palak sebagai tantangan kepada Anjas si begundal sok jagoan itu. Rencana balas dendam bocah pencari perhatian yang haus akan kasih sayang pun dimulai.

Besok pagi ia akan melakukan aksinya, tentu saja ia membicarakan hal ini kepada salah seorang kawannya yang punya keberanian. Pengalamannya sebagai remaja cerdas telah membuatnya paham, pastilah ada yang berani di antara yang pengecut, meskipun itu cuma satu dibanding sepuluh. Jika menemukannya, maka jadikanlah ia teman berharga. Anak itu bertubuh tak lebih besar dari Ipan, anak seorang tentara, dan sudah pernah berkelahi dengan Anjas, ia bernama Wahyu.

“Seandainya waktu itu aku nggak dikeroyok, sudah pasti dia babak belur!” Ucap Wahyu ketika ditemui Ipan di kelasnya. Wahyu anak kelas satu sama seperti Ipan. Tatapan mata Wahyu bernas dan fokus, walau kadang suka jelalatan ketika ada siswi cantik sedang lewat.

“Anjas benar-benar kurang ajar, setelah ia dan kawan-kawannya mengeroyokku, hari-hari selanjutnya aku diintimidasinya, bahkan sampai hari ini pun aku masih pura-pura takut padanya. Padahal aku diam karena nggak punya teman untuk melawan. Pernah baju seragamku yang masih baru diambilnya, ditukar dengan seragam usang miliknya. Seandainya aku punya teman, aku akan menghajarnya sampai ia mati. Anjas kirik!” Ucap Wahyu dengan gigi rapat karena kebencian yang dalam. Cerita Wahyu benar-benar membuat Ipan bungah. Wahyu berterusterang dengan penuh dendam, Ipan tertawa di hatinya karena mendapat seorang teman berharga.

“Jadi kita cuma berdua?” Wahyu bertanya kepada Ipan.

“Iya.” Jawab Ipan ragu-ragu.

Wahyu tampak tidak puas dengan jawaban Ipan, tapi kelihatan ia sedang memikirkan sesuatu. Tiba-tiba Wahyu mengangguk-angguk.

“Aku akan coba meminta bantuan kawan-kawan lain, nanti siang kita ketemu di kantin.”

Saat jam pelajaran, Wahyu yang pemberani tidak bisa tinggal di kelas. Ia ke warung sebelah pagar sekolah untuk menjumpai anak-anak nakal yang sembunyi di belakang warung. Mereka para bocah yang sering kabur dari pelajaran dengan melompat pagar. Sudah sering tempat itu dirazia sekuriti sekolah dan beberapa guru bimbingan konseling. Namun, anak-anak nakal tak pernah punah, selalu ada dari generasi ke generasi. Seluruh siswa sekolah tahu, bahwasanya anak-anak nakal yang sering nongkrong di belakang warung bukanlah pihak dari Anjas. Mereka anak-anak bebas yang keberpihakannya kurang jelas.

Wahyu pura-pura meminum es, sembari mengamati keadaan. Ada yang main gitar, ada yang bersenandung, lainnya main catur. Hampir satu jam Wahyu duduk di situ, dan tak satu pun dari mereka yang diamati bisa diharapkan, apalagi dua bocah di pojokan terlihat linglung dan cekung karena sering mengendus lem, menghirupnya kuat-kuat sampai merasuk ke dalam kepala. Wahyu bergeleng dan menuju kantin untuk menemui Ipan. Ternyata Ipan lebih bisa diandalkan dari yang Wahyu harapkan. Ipan telah nongkrong di kursi kantin dengan dua kawannya yang terlihat bukan pengecut.

“Dua orang lagi siap membantu, Yu. Mereka juga korban Anjas yang siap membalas dendam.” Seru Ipan, menyambut Wahyu yang mendekat.

Wahyu berjabatan tangan dengan dua teman Ipan, Ipan menjelaskan kalau keduanya adalah teman yang setia. Jumlah mereka empat orang akan melawan Anjas dengan gengnya yang kira-kira lebih dari delapan orang. Wahyu sama tak kenal takutnya dengan Ipan, kalaupun ada seseorang yang ditakuti Wahyu bukan karena terpaksa hanyalah ayahnya semata. Ayahnya sering mengajak Wahyu berolahraga di lapangan Kodam, membuat fisiknya begitu kuat. Ia juga sering mendengar nasehat ayahnya yang seorang kapten baret hijau itu kepada tentara-tentara muda yang kadangkala bertamu ke rumahnya.

“Intinya begini, Mas.” Di benak Wahyu melintas gaya khas ayahnya yang seringkali menggunakan telunjuknya untuk menuding lawan bicara. “Potensi seorang tentara, oh sorry sorry, bukan hanya tentara. Potensi seseorang baik itu mental atau ototnya tergantung porsi penderitaan yang diberikan. Semakin ia menderita dan tidak menjadi gila oleh tempaan-tempaan keras, maka seseorang akan terbentuk menjadi lebih berani.” Saat sampai kalimat itu, ayahnya akan mengambil posisi duduk bersandar namun tak melepas pandang dari mata tentara-tentara muda di depannya. Lalu ayahnya akan meneruskan, “Saya selalu mendidik anak-anak saya, agar tidak takut menderita dalam memperjuangkan kebaikan-kebaikan versi dirinya, juga agar tidak takut menghadapi banyak lawan, asalkan benar.” Lalu tentara-tentara muda itu akan mengangguk-angguk percaya, karena buktinya sudah ada. Dua kakak Wahyu yang laki-laki adalah perwira angkatan darat dan angkatan laut, yang perempuan baru mendaftarkan diri sebagai Kowad, sementara Wahyu masih SMP. Kata-kata ayahnya sungguh selalu melekat. Juga ia ingat betul beberapa kisah tentang kedua kakak yang selama ini selalu menginspirasinya. Kakaknya yang pertama pernah memukuli copet di terminal, lalu kakaknya yang kedua jarang berkelahi tetapi sekali marah semua kawannya akan takut kepadanya. Dan sekarang adalah waktu yang tepat buat Wahyu unjuk gigi dengan melibas Anjas beserta gengnya, agar ia punya cerita hebatnya sendiri.

Hari selasa pagi, saat jam pelajaran Penjaskes. Mata pelajaran yang disukai oleh hampir semua siswa. Ipan melipir ke kantin. Biasanya pagi-pagi begini ada saja anak buah Anjas pada sok-sok an merokok di kantin. Wahyu sudah berada di sana dan pura-pura duduk. Ipan merangkul seorang bocah yang menjadi target operasi. Leher si bocah diapit dengan lengannya dan diajak pergi secara paksa dari dalam kantin.

“Aku anggota baru, si bos mau bicara.”

“Bos siapa?”

“Anjaslah, siapa lagi?”

Lihat selengkapnya