Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #9

Phuspa

Hampir tiga bulan Ipan menjalani semester tiga, semester yang terasa cepat karena banyaknya kegiatan dan acara. Ipan masuk ke kamar mandi umum, dan bersiap untuk mandi. Seperti biasanya, sebelum mandi ia perlu menggosok gigi terlebih dahulu. Pasta gigi ukuran besar yang pernah ia beli di minimarket hampir habis, dan ia tidak bisa merelakannya begitu saja. Biasanya pasta gigi ukuran besar akan habis setelah empat bulan jika dipakai rutin dua kali sehari sejak dibuka, dan kali ini belum sampai empat bulan. Berarti ia terlalu boros, pikirnya. Ipan mengecup lubang bungkus pasta gigi, lalu menghisapnya. Ia terbiasa membuang sesuatu jika sudah benar-benar habis tanpa sisa. Agar tidak mubazir. Odol masih keluar meski sedikit, tetap berbusa di mulutnya.

Air keran yang dingin serta jernih mengucur deras dari sumber mata air di belakang pos jaga area camping. Digenggamnya gayung yang sudah gopel-gopel untuk mengguyur kepala serta sekujur badan. Busa-busa sabun meleleh jatuh dari permukaan kulitnya.

Di bilik jamban yang dibuat dari seng setinggi dada dan tidak memiliki atap itulah, Ipan mandi sore sambil melihat nun jauh ke hamparan bumi Kabupaten Probolinggo yang bergunung-gunung. Segalanya nampak hijau merata dan berujung di kaki langit. Hektaran sawah berundak-undak, bukit-bukit berjenjang, lapisan warna hijau terang dan gelap pegunungan yang menjangkau anak-anak awan.

Di sebuah desa, di kaki gunung, adalah tempat menemukan kejernihan pikiran. Di tempat seperti itulah, kebanyakan orang merasa lebih nyaman. Melihat petani, melihat orang-orang yang nampaknya tanpa ambisi berlebihan, menghirup udara bersih, mendengar gemericik air yang mengalir. Jauh dari keramaian. Kalau pun ada pusat keramaian yang bisa ditempuh dalam hitungan beberapa menit hanyalah pasar tradisional becek di kaki gunung.

Sesekali, Dasep yang didapuk menjadi seksi kesehatan di acara LKMM menemui Ipan untuk sekedar mengobrol. Keduanya sudah akrab sejak Ipan mampir ke kontrakan mewahnya, bahkan kini Ipan sering menginap di sana. Dasep kadang berbicara tentang adik kelas yang tercantik, kadang tentang materi-materi acara, kadangkala tentang hewan-hewan di tivi. Sama halnya dengan Ipan, Dasep yang merupakan anak orang kaya itu juga baru kali ini terlempar dalam suasana pedesaan yang sarat. Walau hanya empat hari tidur di tengah hutan, namun hatinya merasa gundah dan merindukan keramaian. Belum lagi ia memikirkan gerai clothing-nya yang mulai memiliki pelanggan loyal.

LKMM ini adalah program baru dari Fakultas, setahun yang lalu waktu dirinya berstatus mahasiswa baru belumlah ada kegiatan ini. Awalnya Dasep menganggapnya hanya camping biasa dan lebih ke arah refreshing dan bersenang-senang, tapi ternyata materi yang diajarkan dosen pengampu lumayan banyak. Membuatnya mulai bosan. Ditambah lagi suasana primitif, karena ketiadaan sinyal internet. Membuatnya tidak mengetahui perkembangan dunia beberapa hari terakhir.

Ipan sudah mandi dan duduk di teras belakang rumah kayu yang menjadi pusat koordinasi panitia. Ia menunggui Dasep yang sedang menyikat giginya di jamban yang sama dengannya tadi. Dasep bersikeras hanya menyikat gigi, ia tidak mau mandi, ia sedang takut air, karena dinginnya hawa pegunungan mungkin bisa membuatnya hipotermia. Ipan merenung dan memandang jauh ke alam hijau di sana, ia menyikapi pedesaan di kaki gunung dari sisi melankolia yang cukup romantis agar sedikit mengusir sepi menuju matahari terbenam. Hingga ia merangkai kata-katanya sendiri, bahwasanya hanya di alam pedesaan yang sepi begini orang alim menjadi tenteram dan para pendosa merasai dosanya. Sesekali, mengasingkan diri dari kehidupan normal memang amat dibutuhkan buat introspeksi.

Saat ini, sore hari menjelang matahari tenggelam namun cakrawala masih cerah dan memerah jingga, sehingga segalanya nampak indah. Dilihatnya dari tempatnya duduk, tiga gadis sedang berjalan lincah di pematang sawah, lalu berswafoto berlatar Semeru atau Bromo. Tiga gadis itu adalah kakak tingkat Ipan. Anita, Mia, dan Phuspa. Ipan memandang ketiganya sambil tersenyum beramah tamah. Ipan tidak begitu hirau, tapi menurut mata lelakinya, ia tahu di antara ketiganya tentu Phuspa yang paling bening. Wajahnya barangkali seperti keindahan sunset kali ini.

Anita, Mia, dan Phuspa menjerit di tengah malam, saat tangan salah satunya tak sengaja menyentuh tikus yang terjebak di pojok kasur. Jeritannya membuat seisi rumah bersiaga, dikira ada maling atau bahaya yang mengancam mahasiswa-mahasiswa dari salah satu kampus di Surabaya itu. Ipan, Dasep, serta Pak Bambang seorang dosen yang didapuk menjadi ketua LKMM berlarian menuju kamar para perempuan. Sakelar lampu dinyalakan. Phuspa terjingkat-jingkat di pintu dengan tatapan penuh geli. Ia hampir menangis. Hampir pula pingsan hanya karena takut tikus. Sementara Anita dan Mia berpelukan di atas meja. Tikus bagi beberapa perempuan tak ubahnya seperti dinosaurus pemakan manusia.

“Kenapa Phuspa?!” Pak Bambang bertanya.

“Tikus, Pak!”

Ipan menggaruk kepala, Dasep membuang nafas resahnya.

“Itu, minta tolong Ipan sama Dasep saja, Bapak juga geli sama tikus.” Terang Pak Bambang ogah ikut campur urusan tikus-tikusan.

“Ipan! Dasep!” Phuspa memandang Ipan dan Dasep, meminta tolong tanpa kata, cukup dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak berani bicara sebab biasanya dialah yang paling cuek terhadap lawan jenis. Hanya karena tikus, perempuan tercuek di dunia pun akhirnya sadar kalau kecantikannya tidak berguna. Dasep naik ke atas kursi, ia juga geli sama tikus kampungan.

“Kamu saja, Pan, Aku geli sama tikus.” Terang Dasep.

“Harusnya kamu, Sep. Kamu kan pemerhati hewan.”

“Beda cerita kalau tikus.”

Ipan yang dari tadi bersedekap sambil bersandar tembok tak tahan melihat Phuspa yang demikian. Dengan semangat tinggi tapi pura-pura dingin, ia mengambil gagang sapu. Kemudian secepat kilat masuk kamar dan menggebuk lima kali kepala tikus nahas itu dengan berbagai pukulan mematikan. Dengan tisu, ia pegang ekor tikus yang telah mati. Phuspa mengamati dari pintu. Ipan sengaja mendekat ke Phuspa dan mendadak berbalik dengan tikus menggantung di genggaman. Phuspa berlari pergi sambil memekik.

“Jangan bercanda, Ipan!”

Ipan mengedikkan pundak sambil tersenyum kecil.

Melalui jendela kamar, Ipan melemparkan si tikus mati ke sungai di belakang rumah yang mengalir deras.

Di Rungkut Madya, Surabaya. Beberapa hari kemudian.

Ya, aku tahu, Embak memang cantik. Aku juga tahu kalau perempuan cantik biasanya sedikit bloon. Apa Embak juga demikian, Mbak? Ucap Ipan kepada Phuspa dengan aksen Surabayanya yang begitu menohok. Suatu ketika mereka mendaki undakan menuju puncak Bromo seusai kegiatan LKMM. Mereka perlu refreshing dan menyempatkan diri berwisata ke Bromo. Mia yang merupakan orang Sumatera tidak terima. Kau bilang Phuspa bloon? Matamu mungkin tidak buta karena menganggap dia cantik, tapi otakmu pasti tumpul bila bilang Phuspa bloon, Pan! Indeks Prestasi Sementara Phuspa saat ini 3,96 tahu! Mia membela Phuspa. Padahal Ipan hanya memuji kecantikannya meski dengan menyisipi kalimat ironi setelahnya, agar tidak dibilang lelaki penebar gombal. Cantik dan bloon memang tidak berbanding terbalik ataupun berbanding lurus.

Phuspa tersenyum kecil ketika mengingat obrolan itu. Hari ini ia kembali ke kampus, meneruskan apa yang memang harus diteruskan. Tetapi di dadanya bersarang paragraf baru, sesuatu yang belum ada sebelumnya. Ia ingin sering mengobrol dengan Ipan, ia ingin lebih jauh mengenal Ipan, ia ingin menjadi kakak tingkat yang baik untuk Ipan, ia ingin mengajari Ipan tentang beberapa cara memperoleh Indeks Prestasi yang tinggi.

Lihat selengkapnya