Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #10

Janji

 Ipan sangat membenci ketidaksetiaan. Menurutnya semua kepedihan yang melingkupi hidupnya dikarenakan oleh ketidaksetiaan. Ia belajar hal-hal baik dari pengalaman buruk. Seolah menerapkan psikologi terbalik, ia belajar setia dari ketidaksetiaan ayahnya. Sudah cukup airmata ibu yang dicintainya tumpah terus menerus. Perasaan ibunya dihancurkan berulang kali, bahkan oleh lelaki yang dicintai sepenuh hati. Hal itu menggoreskan luka di hati Ipan.

Ia sering merenungi, dan rasanya sudah cukup! Cukup ibunya saja yang menjadi korban dari ketidaksetiaan lelaki. Kelak jika ia sendiri telah dewasa, lalu menikah, ia tak akan sampai hati menyakiti perempuan mana pun yang sudi menerimanya. Jangan sebut aku lelaki kalau bisanya hanya menebar kekejian.Memiliki lantas menyia-nyiakan.

Beberapa kejadian buruk di dalam hidup akan menjadi lecutan cobaan. Cambuk untuk mendidik seseorang atau malah membuatnya putus asa. Semenjak kejadian perkelahian di SMP itu, Ipan menjadi sosok yang lebih baik. Berbuat salah, lantas menyesal adalah salah satu tanda kasih sayang Tuhan.

Memang tidaklah mudah mengeluarkan diri dari berbagai lumpur labil yang terlanjur dipijak seorang remaja, semisal kenakalan, tawuran, narkoba, minuman keras atau apa pun. Anak muda yang berhasil keluar dari lumpur-lumpur kelam itu biasanya akan lebih tegar dan memiliki pemahaman yang tinggi di dalam persoalan hidup. Ia telah mengalami berbagai guncangan dan melewati beberapa rasa sakit dengan jiwa dan tubuhnya sendiri, bukan lagi dari cerita orang lain.

Pagi itu di rumah sakit, ibunya datang tanpa tersenyum. Suasana jadi rumit dan serba gawat ketika seorang ibu tengah bad mood. Ipan tidak berani menentang wajah ibunya. Ia menunduk sendu. Di benaknya merangkai kata-kata maaf yang masih sulit ia ucapkan. Ia pandangi selang infus yang terhubung ke pembuluh darahnya, yang direkatkan menggunakan perekat hypafix di punggung tangannya. Ibunya mendekat. Ipan hanya menangkap wajah sang ibu dari sudut mata, ia belum berani menoleh ke arah mana pun. Seandainya ia tidak memulai perkelahian, mungkin saat ini ia tidak akan berada di sini. Seandainya ia tidak mengajak Wahyu berkelahi, tentu Wahyu tidak sampai dikeluarkan dari sekolah. Tapi kalau ia tidak menghentikan Anjas, korbannya akan semakin banyak. Dan mungkin saja bagi Wahyu, lebih baik dikeluarkan daripada jadi budak Anjas terus menerus. Ah sudahlah. Apa pun yang ia lakukan, ia tetap saja salah. Ia tak berani manatap ibunya. Ia akan terus menunduk, pura-pura gagu, pura-pura tidak terjadi apa-apa, pura-pura pusing dan ingin muntah sehingga ibunya otomatis memaafkan, atau…

“Srekkk!” Tirai bed tempat Ipan berbaring ditutup paksa oleh ibunya, sengaja dilakukan agar Ipan fokus memperhatikan.

“Ipan..!”

Demi panggilan itu, Ipan mencoba menatap wajah ibunya.

“Apa Ibuk tidak berhak bahagia setelah semua yang Ibuk lakukan untukmu?”

Mata ibunya berkilat, airmata yang tertahan membuat suaranya terdengar pecah sekaligus nyeri di dada siapa saja yang mendengar. Dari dulu, ibunya memang memiliki ketegasan yang hanya keluar dalam keadaan yang dibutuhkan. Ibunya ingin mengutarakan harapannya kepada Ipan, sekalian meluapkan emosi karena melihat anak yang paling disayanginya berbuat onar, sehingga selain mencelakai diri sendiri juga mencelakai orang lain. Ipan mulai menangis. Entah kenapa air matanya seperti hujan. Air mata kurang ajar itu mengalir deras tanpa diinginkan.

“Maaf, Ibuk.” Kata itu yang keluar. “Setelah ini aku janji nggak akan nakal lagi, aku janji untuk membuat Ibuk nggak sedih lagi.” Isaknya.

Ipan mengakui semua kesalahannya. Ia berjanji akan berusaha sekuat tenaga membahagiakan ibunya. Ibunya memeluk Ipan setelah menyatakan semua unek-unek dengan cukup keras, agar Ipan tidak terus menerus berperilaku negatif. Di sisi lain ibunya juga khawatir, karena akhir-akhir ini banyak remaja menjadi Punk jalanan karena berbagai masalah pelik di lingkungan keluarga.

“Ibuk akan selalu menyayangimu, tidak perlu kamu mencari perhatian dengan menjadi jagoan. Cukup jadilah Ipan yang baik, kamu anak Ibuk selamanya.”

Ipan dan ibunya masih sama menangis, ketika paman datang sambil mengelus kumis Anil Kapoor-nya yang lebat bak ulat bulu. Sejenak sang paman perlu memelankan langkahnya karena tidak ingin mengganggu ibu dan anak yang baru saja berdamai. Paman datang bersama istrinya, juga Fitri dan Sonya yang muncul beberapa saat kemudian.

Ipan membuang muka. Bagaimanapun airmata adalah aib bocah lelaki.

Lihat selengkapnya