Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #11

Ayah Sambung

Ipan dirawat selama empat hari di rumah sakit dan sudah mulai pulih. Hanya tinggal luka di bawah telinganya yang masih diperban. Akibat terkena pecahan kaca jendela dari perkelahiannya tempo hari. Lumayan, sepuluh jahitan. Hari ini ia diperbolehkan pulang. Dan beberapa hari terakhir ini, ia memikirkan Wahyu. Sudah dari saat ia mendengar cerita dari Sonya kalau Wahyu dikeluarkan dari sekolah, ia ingin sekali menemui Wahyu dan meminta maaf atas peristiwa tragis ini. Bagaimanapun Ipanlah yang mengajak Wahyu menghajar Anjas, dan malah berakhir kurang mengenakkan bagi Wahyu.

Hari-hari berikutnya, Ipan kembali bersekolah seperti biasa. Semua siswa kini menghormatinya, karena berkat dirinya, remaja paling nakal di sekolah mendapatkan ganjaran. Semenjak keluar dari rumah sakit, Ipan tidak pernah terlambat lagi di jam pelajaran pertama. Kini pikirannya begitu positif, ia bertekad menjadi remaja baik untuk membuat bangga dan tidak akan pernah menyusahkan keluarganya, terutama ibunya. Dan di saat-saat itu muncul trend olahraga baru, menyerupai sepakbola tapi di lapangan yang agak kecil. Satu timnya berisi empat penyerang dan satu penjaga gawang. Orang-orang menyebutnya futsal, yang lalu berkembang pesat dengan dibangunnya lapangan futsal berbayar oleh para pengusaha di berbagai daerah di seantero negeri.

Sedari kecil Ipan berbakat bermain sepak bola, tapi demi pesatnya pembangunan dan lapangan sepak bola yang luas sudah jarang ditemui di kota-kota, maka futsal menjadi altenatif yang tepat. Dari bakat dan hobi bermain futsal itulah. Ia mulai menetapkan tujuan dan memiliki cita-cita untuk menjadi atlet futsal profesional. Ia mengikuti seleksi tim inti futsal sekolah maupun seleksi club-club di luar sekolah. Dari situlah petualangannya dimulai, ia mulai sering bertanding di beberapa turnamen antar pelajar atau antar club di Kota Surabaya.

Ibunya mendukungnya penuh, barangkali futsal adalah arah baru untuk menyalurkan pikiran dan tenaga Ipan yang kala itu menginjak usia remaja. Tapi sesekali bila memandang Ipan, ibunya juga ingat ayah kandung Ipan yang sungguh telah melupakan Ipan. Sebenarnya bagi ibu Ipan, tidak masalah jika pria itu melupakan dirinya, tapi seharusnya tidak melupakan Ipan. Bagaimanapun keadaannya, Ipan adalah anaknya yang telah ia sia-siakan. Pria sampah semacam itu ternyata ada, tidak bermoral, tidak bertanggungjawab. Pria yang menaklukkan hati wanita, lantas menikahi dan punya anak. Namun, semua itu hanya bagai angin lalu atau gurauan semata? Bahkan tak pernah sekali pun, ayah kandung Ipan sekedar menghubungi atau menanyakan kabar anaknya itu. Memang biadab!

Sehingga Ipan pernah menulis di laman facebooknya.

Ayah, hanyalah sebuah panggilan tak berwujud. Hanya kudengar dari cerita lalu. Tangan kasarmu tak pernah membesarkanku. Keringat dan jerih payahmu tak pernah menetes untukku.

Ayah, entah aku ini kau anggap apa? Apa mungkin hanya mainan yang kau buat tanpa tujuan. Atau bahkan sampah yang seenaknya kau buang.

Ayah, kau tak pernah merasa. Betapa sakitnya hidup tanpa penyanggamu, tanpa didikanmu, tanpa pelukanmu, ketika aku khawatir tentang hidupku.

Ayah, aku kecewa. Namun, dalam hatiku. Yah, kau tetap ayahku.

Di satu hari minggu yang menyenangkan, Ibunya mengajak Ipan berjalan-jalan ke mall. Ia ingin ditemani oleh anaknya karena sudah agak lama keduanya tidak mengobrol panjang antara ibu dan anak. Kebetulan hari minggu itu bertepatan dengan hari ulang tahun Ipan yang ke 13. Di satu kesempatan di bangku panjang di area foodcourt, ibunya mulai mengajak Ipan berbicara.

“Ipan?”

“Iya, Ibuk?”

“Ibuk boleh bicara tentang hal penting?”

Ipan mengangguk sembari menatap wajah ibunya.

“Permisi, mau pesan apa, Bu?” Seorang Waitres menyela sambil memberikan buku menu, dan menyiapkan catatan.

Ipan dan ibunya membuka-buka buku menu.

“Nasi goreng seafood, es jeruk, Mbak.” Kata Ibu Ipan.

Lihat selengkapnya