Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #12

Monster

Selain perokok berat, Om Anto adalah jelmaan monster.

Beberapa bulan setelah menikah, Ibu Ipan tengah mengandung anak mereka. Om Anto sudah resign dari pekerjaannya yang semula sebagai resepsionis di rumah sakit yang sama dengan Ibu Ipan, di sana ia hanya seorang honorer yang kurang puas dengan pendapatannya. Seorang kerabat menawarkan pekerjaan menjadi medical representative atau semacam marketing obat-obatan di perusahaan farmasi kenamaan yang salary dan benefit-nya tentu saja lebih bonafit. Ia sering ditugaskan ke luar kota, ke daerah-daerah kabupaten Jawa Timur di luar kota Surabaya untuk detailing dan penetrasi produk ke dokter-dokter, ke rumah sakit, atau ke klinik kesehatan di daerah.

Ipan juga sibuk dengan kompetisi futsal tingkat pelajar yang semakin rutin ia ikuti. Ibunya seringkali sendirian di rumah dan tidak mengapa, karena ia terbiasa mandiri sejak pengalaman pahit yang pertama. Sepulang kerja dari rumah sakit di sore hari ia akan mencari-cari apa yang bisa dikerjakan di dalam rumah. Seorang ibu memang biasanya tidak bisa diam, ada saja yang dikerjakan agar tidak bengong dan terlihat menganggur. Suatu saat Ibu Ipan menemukan tas milik suaminya tergeletak di nakas fiber di samping lemari kamar. Sepertinya tas kecil itu tertinggal. Ibu Ipan terpaksa harus memeriksa isinya, barangkali dompet yang tertinggal. Jika dompet yang tertinggal ia akan menelepon suaminya karena dompet adalah bawaan penting. Ternyata setelah ia membuka resleting tas itu, isinya hanya beberapa pakaian yang tidak muat di ransel besar. Tentu ia tidak perlu menelepon karena pakaian bisa saja dibeli di luaran sana. Di resleting selanjutnya ia menemukan beberapa bungkus kondom yang membuatnya berprasangka. Kerutan di keningnya menandakan, bahwasanya ia tengah berpikir dan merangkai skenario yang bukan-bukan di kepalanya.

Ternyata dunia memang benar-benar kejam dan juga berat. Ibu Ipan agak menyesal telah melihat isi di dalam tas itu, lebih baik ia tidak tahu sama sekali hal-hal seperti ini. Biarkan saja suaminya berbuat apa pun di luar sana asalkan ia tidak tahu. Itu lebih baik untuk dirinya, pikirnya. Tapi kenapa ia harus tahu ada benda seperti ini dan tentu saja ini akan mengganggu hari-harinya ke depan. Ia menutup kembali tas itu dan meletakkannya di tempat semula. Berharap ini hanya mimpi atau kejadian yang tidak pernah terjadi. Kondom buat apa? Jangan-jangan Mas Anto di luar sana? Pikirannya terus saja memikirkan hal itu, lebih-lebih ke arah yang negatif. Dan ia berusaha melupakannya. Barangkali kondom untuk dijual demi menambah penghasilan, lagi pula pekerjaannya memang marketing obat, dan mungkin saja ia juga menawarkan kondom milik temannya dari perusahaan lain yang bergerak di alat kontrasepsi agar saling menguntungkan. Ya pasti begitu. Pikirannya berputar-putar pada skenario baik dan buruk berdasarkan praduga-praduga. Ahh tidak-tidak, aku harus mempercayai suamiku. Aku harus melupakan hal ini untuk hari ini. Lupakan!

Sementara di hari-hari itu, Sonya mulai nyetreet atau turun ke jalanan. Ia dan teman-temannya menumpang truk, atau menumpang bus, lalu mengamen di lampu merah atau di sekitar alun-alun Kota Malang. Seringkali kegiatan seperti ini ia lakukan di akhir pekan. Awalnya hanya ikut-ikutan saja karena ia mengagumi Kempong sebagai tokoh Punk yang cukup terkenal dan kini sudah punya distro. Kawan-kawan mengamen Sonya juga anak-anak yang sering nongkrong di distro milik Kempong. Sabtu sepulang sekolah, ia akan berpamitan kepada ibu dan ayahnya dengan alasan menginap di rumah kawannya. Tapi nyatanya ia mengganti kostum dengan kaos ala anak Punk berwarna hitam bertuliskan Sex Pistols, bercelana pendek kargo, berkaos kaki tinggi, dan bersepatu converse. Selanjutnya, ia mulai berpetualang sampai berkilo-kilo meter dengan cara menumpang truk luar kota atau mengamen di dalam bus. Kegiatan semacam itu ternyata sangat menyenangkan bagi Sonya. Sonya begitu menikmatinya, ia beroleh banyak teman baru dan juga menghasilkan uang dari hasil menyanyi dan mengamen.

 Mungkin sudah alur yang digariskan Tuhan dan menjadi keniscayaan. Satu akhir pekan sewaktu ia mengamen di alun-alun kota Malang, ia melihat Om Anto sedang berdua-duaan dengan seorang wanita. Keduanya makan di sebuah restoran grill and brew dan terlihat begitu mesra. Sonya tercengang beberapa saat dan berusaha memastikannya dari jarak terdekat yang paling memungkinkan, sementara ia sendiri juga berusaha agar tidak terlihat oleh Om Anto. Kebetulan yang aneh, Sonya merasa bimbang dengan kelakuan Om Anto yang ternyata seperti itu di luaran. Sonya meminjam topi kawannya yang terlihat sedikit kumal dan bau keringat, kemudian mengamen di dekat Om Anto. Sembari agak menunduk dan menyembunyikan muka, Sonya yakin kalau hari itu yang ia temui memang Om Anto. Selain itu, ia juga memeriksa mobil di parkiran, plat mobilnya juga sama persis dengan mobil dinas yang dipakai Om Anto.

Sonya masih menyimpan kejadian itu di dasar hatinya, lalu menutupnya rapat-rapat. Ia belum ada niatan untuk membicarakannya dengan Ipan, walau sebenarnya ingin. Ia tidak terima ada orang yang menyakiti keluarganya. Termasuk Ipan dan Tante Dewi.

Di akhir pekan berikutnya, Sonya mengamen lagi di tempat yang sama. Ia dan kawan-kawannya sudah diijinkan oleh teman-teman Punk di lokasi sekitar untuk menggunakan wilayah tersebut sebagai lahan mengamen hanya saat malam minggu. Ijin itu sebagai bentuk solidaritas dan persatuan tanpa pimpinan. Punk menghormati setiap individu-individu, dan mereka menghindari sosok ketua atau pemimpin, sesuai dengan filosofinya.

Di akhir pekan berikutnya, bahkan hingga tiga kali akhir pekan. Sonya selalu memergoki Om Anto dengan wanita yang sama. Nampaknya keduanya langganan makan di restauran itu. Bukankah hal ini adalah penemuan gila dan juga spektakuler, tapi ia menjadi sedih ketika mengingat Tante Dewi dan Ipan. Lalu ia memutuskan untuk mengajak Ipan ke tempat itu di akhir pekan yang akan datang. Sebenarnya saat melihat Om Anto dan terduga selingkuhannya itu, Sonya selalu berpikir jorok di otaknya. Ia membayangkan Om Anto men-doggy style perempuan itu, lain kali ia membayangkan Om Anto sedang me-missionaris perempuan itu. Sonya memang tengil sejak dalam pikiran. Ia remaja yang mulai memiliki hasrat dari hasil mengamati film biru.

Satu malam ia perlu bertamu ke rumah Tante Dewi.

“Ipan, ada, Tandew?” Sonya mengacarai, ia memanggil Ibu Ipan seperti itu.

Lihat selengkapnya