Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #13

Pengakuan

Ipan dan Sonya kembali ke rutinitas.

Ipan jarang di rumah karena pagi sekolah dan selepas sekolah disibukkan dengan kegiatan futsal yang menjadi hobi sekaligus pelarian atas semua beban hidup dan pikiran tidak menentunya di masa remaja. Bisa dikatakan ia keranjingan futsal. Dan ketika ada Om Anto di rumah, ia lebih memilih mengurung diri di kamar atau menginap di rumah salah satu kawannya.

Sementara Sonya juga masih bersekolah seperti biasa, masih nongkrong di tempat Kempong di waktu malam sampai menjelang pagi, dan di akhir pekan mengamen dengan teman-teman tongkrongannya. Seiring usianya yang bertambah, tato di tubuhnya juga bertambah. Akhir-akhir ini ia sering kena omel Mbak Fitri karena keluar malam dan pulang dinihari, tapi ia selalu berhasil kabur dari rumah dengan cara melompati jendela. Teman-teman Punk-nya benar-benar telah berhasil menjadi tempatnya dianggap dan dihargai. Sesekali ia mulai merokok yang dibagi dari mulut ke mulut bersama teman-temannya. Awalnya ia merasa agak jijik karena di antara temannya ada yang terlalu bau badan dan melupakan gosok gigi. Temannya itu menganut paham. Punk tidak boleh wangi! Sonya terpaksa menerima bekas rokok itu karena solidaritas. Walau setelahnya ia ingin sekali muntah.

“Kenapa tidak kamu tindik telingamu, Son? Seperti telingaku ini. Hemmmm” Ucap salah satu kawannya yang memiliki aroma badan seperti gorengan terasi, sembari bersendawa dan cengengas-cengenges.

“Aku masih pikir-pikir. Soalnya aku masih sekolah.”

“Kamu masih bisa mikir?”

“Iya, meskipun sekolah adalah program usang pemerintah kolonial, tapi mau bagaimana lagi, aku nggak bisa ngelawan orangtuaku terlalu jauh seperti dirimu.”

“Apa maksudmu? Aku nggak ngelawan orangtuaku, justru mereka nggak peduli sama aku.”

“Mereka nggak peduli sama kamu karena mungkin badanmu bau.” Ucap sonya enteng sembari mengetuk-ngetuk dagunya.

Kawannya lantas mengernyitkan dahi, dan menciumi pakaiannya sendiri untuk mengecek.

“Mana bau?” Kawannya berdalih.

“Apa jika mandi yang kamu sabun hanya perutmu doang?”

“Bacot!”

Sementara kedaan rumah Ipan terlihat semakin lengang, hanya lonceng bambu yang seakan hidup dengan sendirinya. Menggantung di langit-langit teras dan tertiup angin kemarau. Lonceng itu berkelinting ke kiri dan ke kanan. Sementara bila menengok ke dalam rumah. Segera terlihat barisan piala memenuhi lemari kaca dan meja. Piala-piala itu milik Ipan dari prestasinya menjuarai beberapa turnamen futsal. Kadang ia meraih Most Valuable Player ataupun Top Scorer suatu turnamen. Rumah tanpa keharmonisan penghuninya bagai paru-paru tanpa udara. Hampa.

Di restoran dekat alun-alun Malang, Sonya tidak pernah lagi mendapati Om Anto dan terduga selingkuhannya itu. Mungkin mereka mencari tempat makan lain, atau sudah putus hubungan lantaran malu atau selisih paham. Kemarahan Ipan tempo hari kepada Om Anto entah berguna atau tidak. Hari-hari berlalu begitu saja. Kandungan Ibu Ipan semakin besar dan mendekati akhir trimester ketiga. Om Anto memberikan nafkah bulanan dan masih sering tugas keluar kota. Tidak lagi ada yang tahu, hal apa yang ia lakukan di luar kota. Hanya saja Sonya masih kepikiran soal doggy style atau missionaris.

Ipan pun menyadari, beberapa hari lagi ibunya akan melahirkan. Sementara ia sendiri masih sangat bingung dan terlalu bimbang untuk menentukan perasaannya. Ada perasaan bahagia karena hendak memiliki adik, tapi di sisi lain, ia juga cemas. Ditambah lagi jika mengingat kelakuan Om Anto di luaran sana, Ipan akan duduk termenung sambil melempar kerikil-kerikil ke sungai sebagai sarana menyalurkan kegalauan. Bagaimana nasib ibunya nanti? Apakah akan sama dengan yang telah berlalu? Apa adiknya juga akan bernasib sama seperti dirinya? Ipan menjadi begitu overthingking dan tidak tahu harus bagaimana. Pelampiasannya kala itu hanyalah bermain futsal, meskipun performanya akan menurun di saat ia banyak pikiran. Ia menutupi semua kesedihannya dengan futsal, futsal, dan futsal.

Sementara itu, Ayah Sonya mulai mengetahui tempat tongkrongan anaknya. Sesama bapak-bapak komplek dan beberapa tetangga yang memberi tahu. Ayah Sonya urung menegur Sonya lantaran belum ada waktu yang tepat, dan juga Sonya kini selalu beralasan ketika diajak mengobrol dengan ayah dan ibunya. Usia remaja memang usia yang riskan di dalam memilih teman bergaul. Di satu sore yang disinari matahari namun memunculkan gerimis, ayah Sonya mulai membicarakan masalah ini dengan ibu Sonya.

“Kuntilanak melahirkan ini, Bu.” Ayah Sonya membuka dialog.

“Iya, Ayah yang buntingin.”

Lihat selengkapnya