Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #15

Kantor

Tadi malam Ipan sempat mengobrol dengan Om Yanto, ayah Dasep yang seorang petinggi militer Angkatan Udara itu. Ipan menghormatinya sekaligus agak segan bila di hadapannya. Lagipula namanya mirip dengan monster yang tinggal bersama ibunya. Anto dan Yanto, bagi Ipan agak menggelitik, ia tersenyum sendiri memikirkan itu. Hanya saja Om Yanto ayah Dasep adalah sosok yang begitu berwibawa. Mungkin karena ia salah satu petinggi militer. Om Yanto humble dan selalu memanusiakan siapa saja. Ia baru pulang dari pelatihan penerbang di luar negeri. Kumisnya tebal dan rambut di kepalanya hampir seluruhnya berwarna keperakan.

Dasep sering bercerita tentang ayahnya itu, ayahnya semasa kecil adalah yatim piatu yang dibesarkan oleh kakeknya. Ayahnya lahir dan besar di desa, sejak kecil menggemari olahraga pencak silat dan berprestasi di kancah daerah maupun nasional. Hingga setelah lulus SMA ia mendaftarkan diri di Akademi Angkatan Udara, lalu lolos pada percobaan ketiga. Ipan bisa membayangkan, bahwa Om Yanto dahulunya adalah orang susah yang terus berjuang sekuat tenaga, hingga Allah memberikan pertolongan dan kini mengangkat derajatnya.

“Yup, Ipan… Apa kabar?” Ucap Om Yanto menyapa Ipan di acara makan malam keluarga. Om Yanto punya hobi mengkonsumsi bawang lanang yang menurutnya sangat bagus untuk kesehatan, hingga aroma tubuhnya samar-samar menguarkan aroma bawang lanang. Pun di meja makan dan di sekitar lemari dapur, serta di dalam dan di atas kulkas terdapat banyak toples kaca yang di dalamnya berisi bawang lanang yang direndam dengan madu atau direndam dengan campuran minyak goreng dan kemiri yang dihaluskan, lalu ditutup rapat. Fungsinya untuk mengawetkan. Sekilas bentuknya seperti manisan bawang.

“Alhamdulillah, baik Om. Bagaimana rupa negara Qatar, Om?”

“Gedung-gedung tinggi. Om cuma di ruangan pakai AC… Tapi kalau di luar ruangan pasti panas, karena dulunya padang pasir.”

Ipan mengangguk-angguk.

“Diterima kerja di mana, Pan?”

“Perusahaan pestisida, Om.”

“Oh. Sebagai apa?”

“Staf marketing.”

“Berarti keliling-keliling ya, ke kampung-kampung yang banyak pertaniannya? Seru tuh.”

“Iya, Om. Ke Lembang, ke Ciwidey, Pangalengan.”

“Mantap. Intinya telaten, Pan. Sambil terus update supaya karirnya Upgrade.” Om Yanto beralih ke Dasep. “Dasep nggak ikut ngelamar di tempat Ipan?”

“Aku usaha aja, Yah.”

“Iya intinya berusaha, mumpung masih muda. Nggak ada yang mau jadi tentara ini anak-anak Ayah.” Ucap Om Yanto mengambang, seakan-akan menjelaskan.

“Buat anak lagi aja, Yah. Barangkali mau jadi penerus Ayah.” Tantang Dasep.

“Hahahaha.” Om Yanto tertawa seperti Raja Hastinapura. “Buat anak. Ngebesarin bayi lagi? Udah nggak sanggup Ayah sama Ibu. Kalian saja pada bandel.”

Ipan ikut-ikutan terhibur dengan suasana keluarga Dasep. Tanpa sadar ia terus menerus tersenyum dan menikmati perannya sebagai tamu. Malam ini adalah malam terakhir ia menginap di kamar Dasep. Besok sepulang kerja, ia harus angkat kaki dari rumah ini. Ia akan mulai menempati kos-kosan yang telah dibayar kontan per kemarin.

 Pagi hari, seperti biasanya, Bandung terasa dingin. Ipan berkendara di antara orang-orang yang berangkat kerja. Jalanan begitu ramai dan beradu kesibukan satu sama lain. Ia tiba di kantor tempatnya bekerja. Kantor tempatnya bekerja ternyata jauh dari yang ia bayangkan. Ia membayangkan kantornya bagus, paling tidak dipenuhi kaca bening atau arsitektur desain kantor pada umumnya. Tetapi kenyataannya, itu hanya sebuah rumah agak tua yang disewa dan biberikan pelang penanda sebuah kantor. PT. Indootsuki Chemical. Bahkan beberapa temboknya sudah gopal-gopal. Ipan memompa semangatnya, tidak masalah, lagi pula gaji yang ditawarkan cukup lumayan. Ia bekerja di perusahaan start up yang bergerak di bidang penjualan produk pestisida yang baru berumur lima tahun. Perusahaan kecil yang menginduk di bawah nama besar Perusahaan Modal Asing yang berasal dari Negara Jepang.

Sebagai anak baru, Ipan terlihat klimis dan lugu. Ia tersenyum kepada sekuriti yang bahkan tidak punya pos jaga. Sekuriti itu hanya duduk santai di sebuah kursi Chitose di teras kantor ditemani secangkir kopi hitam buatan sendiri. Begitu Ipan mendekat, sekuriti langsung berdiri untuk memantaskan diri.

“Selamat Pagi, Pak.” Sapa Sekuriti.

“Hehe, pagi, Pak.” Ipan cengengas-cengenges.

“Bapak pegawai baru?”

“Benar, Pak. Hari ini saya disuruh menghadap Ibu Niken.”

“Oh, Ibu Niken belum datang, Pak. Silahkan ditunggu saja di dalam.” Sekuriti menunjukan tempat duduk di sebuah sofa yang letaknya tepat setelah pintu masuk. Di situlah ruang tunggu yang berhadapan dengan resepsionis. Sepertinya Ipan datang terlalu pagi, hingga belum ada satu pun pegawai yang datang. Tak lama berselang, satu per satu pegawai mulai masuk dan duduk di meja masing-masing.

Dan seseorang masuk lagi, lalu tersenyum kepada Ipan. Perempuan yang mungkin dari segi usia selisih lima tahun di atas Ipan. Penampilannya lebih menunjukan bahwa ia orang lapangan tulen, karena outfit-nya dari baju, celana, dan sepatu serba Eiger.

“Selamat Pagi, Bu Niken?”  

“Pagi, Ipan. Mari ke ruangan saya.”

Ipan duduk di sebuah kursi dan menghadap Bu Niken. Keduanya dibatasi meja Olympic. Bu Niken mengeluarkan laptop. Ipan pun mengikuti mengeluarkan laptopnya yang di pojok kanan monitornya telah cacat bernoda hitam.

“Oke Ipan, hal pertama yang akan saya ajarkan adalah daftar masterlist outlet dan menyusun rencana kunjungan harian.”

Ipan mengangguk-angguk.

Lihat selengkapnya