Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #16

Prasangka

Hari ini setelah mengobrol dengan Pak Dadang. Dan mobil di luar sudah berhasil diselamatkan dari lubang got. Jam baru menunjukkan pukul tiga sore, ketika Bu Niken mengajak Ipan kembali ke kantor. Bu Niken menjelaskan, inti dari pekerjaan sebagai sales marketing adalah membina hubungan baik dengan pemilik atau dengan manajer toko, agar angka penjualan ke toko tersebut bisa terus bertumbuh dari tahun ke tahun. Kalau sesederhana itu, Ipan pun memahaminya. Ia hanya harus terus melakukan kunjungan yang terjadwal dan rutin, melakukan pendekatan secara personal, lalu sesekali boleh entertain. Semacam memberikan buah tangan atau oleh-oleh untuk menyenangkan rekanan. Dan ini pengalaman baru untuk Ipan, karena selama ini backgroundnya seorang admin yang duduk di belakang layar komputer dan entry nama, alamat, golongan darah, serta nomor telepon pasien. Di perjalanan balik ke kantor kali ini, Ipanlah yang mengemudikan mobil. Bu Niken agak trauma setelah terperosok tadi, atau mungkin sedang menguji kecakapan mengemudi Ipan di jalan perbukitan yang naik turun.

Bu Niken ingin mampir ke ATM sebelum mengajak Ipan makan malam, padahal Ipan belum terlalu lapar karena habis disuguhi mie ayam beserta es teh manis dari tempat Pak Dadang. Ipan tidak enak jika harus menolak ajakan makan Bu Niken, karena Bu Niken punya anggaran untuk mengajak makan timnya ketika join visit. Menjamu tim yang baru join di restoran mewah masihlah proporsional mempertimbangkan mereka bekerja di perusahaan swasta yang harus selalu dituntut hemat budget. Berbeda dengan prinsip pegawai negeri, yang harus memaksimalkan anggaran, lebih baik lagi dihabis-habiskan. Agar ketika pengajuan akhir tahun nanti maksimal dan ketika cair tahun depan lebih banyak dari tahun ini. Tidak ada yang bisa merubahnya karena hal itu sudah menjadi suatu sistem dari hulu ke hilir.

Sementara di hari yang sama, Phuspa sedang perjalanan pulang dari arah Padalarang. Ia habis meninjau acara Home and Property Expo atau semacam acara pameran properti. Phuspa saat ini di divisi marketing perumahan KPR bersama seorang teman kantor yang mati-matian menyukainya. Phuspa hanya bisa pasrah ketika dipartnerkan dengan Rizal, teman yang mengejarnya seperti pemburu berakal pendek. Ia harus profesional walau agak tidak nyaman dengan Rizal yang kadang suka terlalu bucin dan agak lebay, padahal Phuspa selalu menjelaskan ia sudah punya pacar dan sama sekali tidak antusias dengan keberadaan Rizal di dunia ini.

“Makan dulu yuk, Phus. Sebelum balik kantor.” Rizal menawarkan.

“Nggak, Zal, aku pengen buru-buru balik, lalu kerjakan report biar nggak ada kerjaan nanti malam.”

“Ayolah Phus, sudah keseringan kamu nolak aku. Mau ya, kali ini saja?”

Ini satu kebetulan atau apa? Bu Niken mengajak Ipan ke gerai ATM kantor cabang sebuah Bank BUMN. Ipan sangat senang karena dalam hati kecilnya, di sanalah tempat calon ibu dari anak-anaknya bekerja.

Saat memarkir mobilnya di dekat gerai ATM dan menunggu Bu Niken mengambil uang cash dari mesin ATM. Ipan berencana menelepon Phuspa, dan bilang kalau ia sedang berada di depan kantornya. Tapi sebelum ia merogoh saku celana dan mengambil HP, dilihatnya sebuah mobil yang baru tiba dan parkir di halaman gedung Bank. Seorang perempuan turun buru-buru, lalu seorang lelaki mengejarnya dan merangkulnya dari belakang. Ipan terkesima beberapa saat. Ia masih mengamati dari jauh. Sepertinya perempuan tadi Phuspa. Tapi siapa lelaki itu? Ipan ingin turun untuk memastikan, namun Bu Niken sudah membuka pintu mobil dan duduk di sampingnya. Bu Niken mengajak Ipan balik ke kantor. Ipan tidak bisa menolak arahan atasannya, apalagi mengajukan berhenti untuk memeriksa sesuatu yang sifatnya pribadi. Rasanya kurang pas saja, apalagi ini hari pertama masuk kerja. Ia menginjak pedal gas dan mobil bergerak meninggalkan parkiran.

Jelang magrib, jalanan Kota Bandung padat sekali. Kendaraan roda dua mungkin bisa menyelinap dan menyalip, tapi kendaraan roda empat seperti kura-kura lanjut usia, yang super sangat lambat. Pikiran Ipan tak kalah padatnya dari jalanan, bahkan membatu. Ia berpikir keras, dan merangkai beberapa kemungkinan tentang perempuan yang dirangkul laki-laki tadi. Adakah itu Phuspa? Apa LDR selama ini telah merubah Phuspa menjadi sosok yang lain? Dan apakah Ipan kembali dikhianati oleh orang yang begitu dicintainya? Pikiran Ipan sengit sekali, suara-suara di sekitar tidak lagi terdengar oleh telinganya yang tegang. Ia tengah khusyuk berkonsentrasi pada pikirannya yang belum memahami situasi. Sementara Bu Niken tidak menyadari kemelut apa yang dirasakan Ipan. Sampai “Brukkkk.”

Lihat selengkapnya