Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #18

Overthingking

“Sorry, jangan pakai emosi. Kita tanggungjawab!” Bu Niken turun mendahului Ipan dan mencoba bernegosiasi dengan orang botak bertato dan hobi ngegym itu. “Kita menepi dulu, macet!” Saran Bu Niken. Sementara serangan klakson bertubu-tubi datang dari arah belakang.

“Serahkan dulu KTP, nanti kamu kabur!”

“Enak saja, kabur! Memang wajah saya kelihatan seperti orang yang mau kabur apa!?” Bu Niken mulai hilang kesabaran.

“Kok, Ibu jadi nyolot.”

“Kamu banyak cakap!”

Ipan dengan cekatan mengeluarkan dompetnya dan menyodorkan KTP kepada pria bertato, dengan maksud membendung emosi Bu Niken yang mulai membara. Pria bertato kini terlihat lebih kalem setelah dibentak perempuan. Mereka lalu mencari tempat di tepi jalan untuk bernegosiasi.

“Cuma penyok sedikit saja, lima ratus ribu cukup ini untuk perbaikan!” Bu Niken meyakinkan, sambil jarinya mengetuk-ngetuk bodi mobil sebagai usaha memecah konsentrasi lawan bicara.

“Enak saja, lima ratus ribu. Dua juta ini.”

Ede, dua juta dari Hongkong!”

“Idih, kenapa ibu emosi!?”

“Mulut kamu buat saya emosi, saya nggak takut sama tato kamu, Ya!”

Ipan belum sempat menenangkan Bu Niken

“Kasih alamatmu Pak! Besok saya bawa montir ke rumahmu. Saya tanggungjawab, tenang saja kamu. Itu KTP teman saya pakai jaminan!" Bu Niken memberondong.

“Nggak bisa, Bu. Saya yang bawa mobilnya ke bengkel langganan saya.”

“Kamu kira saya bodoh, kamu mau ngakalin saya? Jangan khawatir, mobilmu akan balik seperti semula. Tenang saja kamu…”

Orang yang mobilnya ditabrak akhirnya terdiam demi mendengar berondongan Bu Niken yang seperti Villain dalam lomba tarung bebas. Orang botak bertato buru-buru memberikan nomor Hp dan menuliskan alamatnya. Hanya untuk menghindari bersitegang dengan Bu Niken.

Ipan memohon maaf sebelum mereka berpisah.

Bu Niken tersenyum di dalam mobil.

“Tenang Ipan, Besok pagi kamu ke kantor, bawa mobil saya dan jemput montir langganan saya, terus kamu antar ke rumah orang tadi. Paling lima ratus ribu.”

“Siap, Bu. Ibu tadi beneran emosi?”

“Tidak, saya hanya berakting agar orang tadi tutup mulut. Saya dulu pernah casting mau main film bareng Vino, tapi saya gagal.”

“Vino G Bastian, Bu?”

“Iya, dulu mimpi saya menjadi aktris, saya kursus akting sambil kuliah tapi selalu gagal saat casting, dan akhirnya saya membunuh mimpi saya. Capek, mending saya cari uang saja lebih instan.”

 

Sampai tengah malam Ipan tidak menghubungi Phuspa sama sekali. Meski HP-nya terus menerus bergetar. Tiga puluh kali panggilan telepon Phuspa tidak dijawabnya, dan dua puluh tujuh kali chat dari Phuspa juga tidak dibalasnya. Ipan sebenarnya tidak setega itu, tapi entahlah, malam ini ia ingin sendiri. Dalam keadaan terlentang dan menutup mata, ia terus menerus memikirkan kejadian hari ini ketika melihat Phuspa sedang berdekatan dengan pria lain. Kemudian mulai memikirkan hari esok, untuk menemui dan bertanggungjawab atas orang yang mobilnya ia tabrak, juga memikirkan biayanya. Memang sedang sial, kerja baru satu hari, sudah harus nombokin mobil orang. Pikiran Ipan berkutat di antara dua hal itu. Mudah-mudahan sesuai dengan yang dikatakan Ibu Niken. Biaya perbaikan mobil tidak lebih dari satu juta. Di atas kasur indekosnya Ipan overthingking dan tidak bisa tidur, padahal tubuhnya capek.

Hampir pukul tiga dinihari, ia hanya mengerjap-ngerjapkan matanya di dalam gelap, tidak mengantuk sedikit pun. Akhirnya ia putuskan untuk menelepon Phuspa.

Lihat selengkapnya