Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #19

Cacha Kelam

Di sore hari yang sendu, mendung perlahan menyingkir dibawa angin. Hujan lebat habis mengguyur Kota Bandung beberapa waktu yang lalu selama satu setengah jam. Ipan berkendara selepas pulang kerja di jalanan yang masih basah untuk menjemput Phuspa di kantornya. Ipan menunggang La Valiente dan melewati jalan layang di salah satu sudut kota yang melankolis. Mata Ipan menangkap pelangi yang begitu indah dari jalan layang yang ia lalui. Pelangi dahulu kala adalah pemandangan yang menakjubkan, namun hari ini kebanyakan manusia menganggapnya biasa saja. Manusia-manusia kian mematerikan diri, fenomena alam dan keindahan semesta tidak lagi menarik hati.

Motor Ipan mendaki di tanjakan menuju kantor Phuspa, dan ia berhenti tepat di depan tangga lobi. Tak lama Phuspa datang dengan senyum merekah, Ipan menyambutnya dengan senyum tergagahnya. Sebuah mobil yang baru bergerak dari parkiran mengklakson keduanya, lalu berhenti.

“Siapa, Phus?” Tanya seorang lelaki mapan yang membawa mobil, sesaat setelah berhenti dan menurunkan kaca.

“Pacarku.” Jawab Phuspa.

Si lelaki yang membawa mobil terlihat kehilangan keramahan, lalu pergi meninggalkan keduanya.

“Kemarin kulihat lelaki tadi merangkulmu?” Ipan spontan berbicara.

“Dia, Rizal, Yah. Teman sekantor yang ngejar-ngejar Bunda.” Jeda, mata Phuspa memandang Ipan. “Kemarin Ayah lihat di mana?”

“Kemarin Ayah mengantar Bu Niken, atasan Ayah, ke gerai ATM dan melihat Bunda sama Rizal.”

“Dia suka ganjen nggak jelas dan memiliki rasa percaya diri yang terlalu tinggi. Dia merangkul Bunda sebelum belokan di sana kan?” Phuspa menunjuk tempat kejadian perkara kemarin. “Aku buru-buru melepaskan diri dan menonjok perutnya. Kalau ayah nggak percaya, Bunda bisa antar Ayah untuk cek CCTV.”

Ipan menggeleng sambil tersenyum.

“Ayah harusnya percaya sama, Bunda. Karena selama ini Bunda selalu mempercayai Ayah.” Phuspa menerangkan.

“Gara-gara memikirkan Bunda, Ayah nggak bisa konsentrasi waktu bawa mobil, terus nubruk mobil orang.”

“Astaga. Rizal cuma teman kerja yang agak resek, nggak lebih, Yah. Dia suka ngajak Bunda makan tapi selalu Bunda tolak. Lagipula Bunda sudah jelaskan ke dia, kalau Bunda punya pacar. Tapi dasar orangnya kenes begitu.”

“Iya, maafin Ayah yang curigaan. Ayah cuma takut kehilangan Bunda.”

“Nggak lah, Bunda punya komitmen. Kita jalan kemana, Yah?”

“Emmm.” Ipan nampak berpikir. “Bagaimana kalau makan dulu, Ayah lapar. Bunda mau makan apa?”

“Terserah Ayah saja.”

Lihat selengkapnya