Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #20

Mbak Fitri

“Nggak asik kamu, Bang.” Remaja Punk itu meledek Sonya.

“Tolol! Punk berkarya nggak harus melulu pada musik, bekerja juga berkarya! Memangnya siapa yang nggak butuh uang!?”

“Pecundang kamu, Bang.”

“Punk itu menjadi diri sendiri, bocah tengik. Kalau memaksa dan mencemooh oranglain itu fasis namanya.”

Remaja Punk pergi dari hadapan Sonya. Sonya lantas tenggelam dalam lamunannya tentang masalalu sembari fokus bekerja melipat-lipat pakaian. Hari ini Sonya tampil sendiri mengurus toko pakaian, sementara ayahnya istirahat di rumah karena tidak enak badan. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba HP-nya berdering.

“Hallo, Pan. Sonya di sini, tumben nelepon duluan.”

Sonya me-loudspeaker HP-nya agar bisa bicara sambil bekerja.

“Kamu masih mau kerja di sini nggak?” Suara Ipan dari seberang.

“Mau lah, kamu pikir aku bercanda. Apa ada lowongan?”

“Kirimkan CV-mu, Son.”

“Hah, CV?”

“Iya, riwayat hidup dan sebagainya. Minta tolong Mbak Fitri saja, biar dibuatkan.”

“Oke.”

Email-kan ke aku, malam ini paling lambat! Biar besok pagi kukirim ke orangnya.”

“Kalau boleh tahu, kerja apa, Pan?”

“Pabrik sepatu, Son. Tapi di Subang, jaraknya dua sampai tiga jam dari tempatku. Aku kan di Bandung.”

“Nggak masalah, yang penting kerja dan digaji.”

“Oh iya, kamu ke studio foto Son. Foto pakai celana pendek doang ya.”

Asu, apa maksudmu?”

“Ceritanya panjang. Yang jelas, orang yang mau nerima kamu bapak-bapak kepalanya botak, badannya penuh tato. Dia Rich Punk atau mungkin semacam milyarder Punk, dia pengen lihat makna-makna tatomu. Dia pengen tahu lah, kamu Punk yang pintar atau Punk yang tolol.”

Sonya menganga beberapa saat. “Jadi serius foto studio pakai kolor doang?”

Lihat selengkapnya