Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #21

Satu Tahun Kemudian

Pagi ini Ipan tengah tersenyum memandangi aplikasi mobile banking di HP-nya. Hari ini tanggal 25, 25 keramat yang dinantikan, karena 25 adalah tanggal gajian. Sudah setahun ia bekerja sebagai marketing pestisida di tim Bu Niken. Selama ini, strategi-strategi Bu Niken cukup efektif untuk mengejar target penjualan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Seringkali masih achieve dari bulan ke bulan, sehingga gaji timnya juga lumayan karena ada insentif tambahan di luar gaji pokok saat sales achieve target. Ipan pun lebih cepat mengumpulkan uang mahar dan uang acara untuk segera mempersunting Phuspa.

Pagi ini di kantor, Ipan sengaja datang lebih pagi untuk mempersiapkan pekerjaan. Hari ini ada jadwal kunjungan dari Nasional Marketing Manager ke cabang wilayah kerja Bu Niken dan tim, yaitu Bandung, Subang, Cianjur, dan Sukabumi. Tim Bu Niken yang bertanggungjawab atas wilayah Bandung dan Subang adalah Ipan, sementara untuk wilayah Cianjur dan Sukabumi adalah anak muda gendut bernama Zulfani.

Zulfani turut hadir ke Bandung untuk menyambut kunjungan ‘Kakek Bos’. Ia berangkat dinihari tadi dari Cianjur menggunakan jasa Shuttle, lalu naik ojek online ke kosan Ipan untuk menumpang buang air besar di pagi hari sekalian mandi. Keduanya lantas berangkat ke kantor naik motor.

Kakek bos adalah julukan yang digagas oleh Zulfani untuk atasan Bu Niken. Logikanya sederhana, jika Bu Niken adalah ibu bos mereka, maka atasan Bu Niken adalah kakek bos mereka. Zulfani berasal dari keluarga yang kurang mampu, sehingga ia terbiasa giat dalam bekerja. Ia juga cenderung pandai bicara dan out of the box, ia lulusan IPB yang dinaungi beasiswa Bidikmisi selama kuliah. Sudah setengah tahun ini, ia merapat menjadi tim Bu Niken sebagai pemasar pestisida hama tanaman budidaya yang ditempatkan di wilayah Cianjur dan Sukabumi. Zulfani sangat bersyukur dengan pekerjaannya, karena ia tidak perlu meninggalkan tempat kelahirannya, Cianjur. Nikmat mana lagi yang akan ia dustai, jika kerja di tanah kelahiran sendiri, berbahasa nenek moyang sendiri, dan tidak perlu merantau jauh-jauh meninggalkan orangtua dan adik-adiknya.

“Nanti kita ajak, kakek bos ke kawah putih Mas Ipan. Istilahnya kalau orang pusat kita ajak ke tempat-tempat wisata, akan mengurangi waktu berkunjungnya ke outlet-outlet yang kita cover. Sehingga kita tidak perlu was-was dengan kerapian pajangan produk kita di outlet atau spanduk-spanduk promosi yang belum merata.”

Zulfani membuka obrolan di meja kerja Ipan sambil sok serius di depan data-data di dalam laptopnya.

“Tenang saja Zul, kata Bu Niken kan kakek bos orangnya nggak terlalu ribet. Lagi pula kalau outlet yang ku handel di sini sih sudah merata sebaran produk kita, sarana-sarana promosi dan spanduk-spanduk juga sudah oke, sih.”

“Wilayahku yang masih kacau. Jangan-jangan besok giliran wilayahku yang dikunjungi.”

“Aman saja itu.”

 Mobil kakek bos menderu di halaman kantor, Bu Niken mengajak Ipan dan Zulfani menyambutnya di teras. Kakek bos turun dari mobil dengan santainya, ia orangtua tinggi besar yang badannya agak gendutan. Sebenarnya ia sudah pensiun dari jabatan Nasional Sales Manajer di perusahaan lain. Namun, karena kinerjanya terbaik, maka PT. Indootsuki Chemical ingin menarik dan memperpanjang masa kerjanya. Kakek bos sebenarnya menolak tawaran itu, dan ingin bersantai menemani istrinya di masa tua, tapi karena direktur memohon dan koneksi mereka selama ini sangat baik, maka kakek bos mau menurut dan tampil di usia senjanya untuk berkeliling Indonesia dalam rangka mensupport timnya berjualan pestisida.

“Halo, Niken.” Kakek bos menyeru. Semua orang kalah tinggi dibandingkan dirinya, padahal usianya sudah tidak muda lagi.

“Siap Pak Juli.”

“Ipan!” Sapa kakek bos.

“Siap Pak Juli.” Jawab Ipan agak tidak percaya kalau kakek bos yang punya anak buah bertumpuk dan berlapis itu mengingat namanya.

“Ini tim yang baru? Siapa namamu, Nak?” Seru kakek bos kepada Zulfani yang memang masa kerjanya belum lama, sehingga baru pertama kali bertemu kakek bos.

“Saya Zulfani, Pak Juli.”

“Oke, ini masih pagi, bagaimana kalau kita sarapan dulu?” Ajak kakek bos sambil melirik arloji bernuansa perak di pergelangan tangan.

“Kupat tahu atau nasi kuning, Pak Juli?” Zulfani mencoba menawarkan.

Bu Niken meringis.

Lihat selengkapnya