Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #25

Tepat Waktu

Pak Dadang mengemudi mobil dengan kecepatan penuh, bahkan terkesan ugal-ugalan. Sudah selayaknya sopir ambulan dalam keadaan darurat atau mules tidak tertahankan ingin buang air besar. Mobil melaju cepat tanpa musik, melewati perkebunan Parongpong, menyalip bus pariwisata, melintasi Tangkuban Perahu, menyalip pick up sayur, menuruni tanjakan Emen yang melegenda, mengklakson beberapa pengendara sepeda motor dengan gemas, lalu terus bergerak meninggalkan daerah Lembang. Daritadi Ipan terombang-ambing ke kanan dan ke kiri, mulutnya komat-kamit merapal doa, semoga bisa selamat sampai Subang dan bisa datang tepat waktu, sebelum segalanya berakhir buruk. Pak Dadang sama sekali tidak berbicara, ia seratus persen berkonsentrasi pada jalanan, bahkan sepertinya dia juga tidak sempat bernafas.

Dados mencari-cari seseorang di bagian personalia yang dulu pernah meng-interview dirinya saat seleksi karyawan. Namun, setibanya di ruangan, ruangan itu justru kosong. Di dalam pabrik serasa sepi, sebab lebih dari setengah pekerja pabrik telah meninggalkan pekerjaannya demi melihat Sonya yang hendak bunuh diri. Para pekerja pabrik justru senang melihat orang yang akan bunuh diri, mereka bisa sejenak keluar dari rutinitas dan membeli kue, salad buah, atau rujak buah di sekitaran pabrik. Mata Dados sibuk mencari wajah seseorang di bagian personalia untuk melaporkan segala tindakan Pak Wowon yang telah mengintimidasi dan mengancam para pegawai di divisi Assembling selama ini. Tekad Dados menjadi bulat, setelah apa yang dilakukan Sonya. Sonya hendak megakhiri hidupnya, Pak Wowon tidak bisa terus menerus menjadi preman di dalam pabrik. Dados terus-terusan menoleh kesana dan kemari untuk mencari satu wajah di antara wajah semua orang yang berkerumun.

“Bu Darmi!” Dados hampir memekik setelah menemukan wajah itu.

Ia berlari menyongsong Bu Darmi yang juga berada di sekitar kerumunan.

“Bu Darmi, Saya Dudung Darmawan. Pekerja di bagian Assembling. Sekaligus teman orang yang hendak bunuh diri itu.”

Bu Darmi memperhatikan Dados yang wajahnya pucat dan terengah-engah di hadapannya. Nafas Dados hampir putus karena berlarian kesana-kemari. Dados mengulurkan surat pemecatan Sonya ke hadapan Bu Darmi. Tanpa berkata apa-apa, Bu Darmi menerimanya. Lalu membaca surat tersebut.

“Siapa yang memberikan surat ini, Dudung?”

“Pak Wowon, Bu. Bagian pengawas divisi Assembling. Kami juga sering ditakut-takuti akan di-PHK pihak Pabrik. Lalu kami berinisiatif memberikannya sejumlah uang agar terhindar dari pengurangan.”

Mendengar pernyataan Dados, Bu Darmi hanya menggeleng beberapa kali, sambil memandang dengan mata yang memancarkan kekecewaan. “Aku akan secepatnya ke Pak Wisnu, kepala bidang personalia. Pihak pabrik tidak pernah mengeluarkan surat pemecatan semacam ini.”

Dados tidak menjawab, ia bahkan perlu memahami apa-apa yang Bu Darmi katakan barusan. Bu Darmi bergegas pergi dari hadapan Dados yang menatapnya.

 

Di atas tower BTS setinggi 20 meter. Sonya telah benar-benar mengumpulkan niatnya. Ia merasa bisa melihat semua kejadian dalam hidupnya selama ini. Masa kecil di tengah keluarga yang bahagia, perkenalannya dengan Kempong yang menurutnya adalah salah satu orang luar biasa yang memiliki hati yang teguh serta keyakinan penuh akan menjadi seseorang yang berhasil, sukses, dan menginspirasi banyak orang, meskipun dengan tubuh dipenuhi tato. Kempong yang begitu sederhana dan memiliki pandangan hidup amat bagus, melebihi pandangan-pandangan orang umum. Bahkan menurut Sonya, orangtuanya sendiri yang termasuk dalam golongan orang-orang dewasa tradisional tidak bisa serta merta ia ajak bicara terlalu dalam soal pandangan hidupnya yang lebih selaras dengan pandangan hidup Kempong. Tetapi pada kenyataannya. Saat ini, semua itu tidak ada gunanya. Semua itu hanya omong kosong dan hal-hal yang membuatnya menjadi anak muda yang terlambat realistis. Seperti halnya pelajaran Sin Cos Tan dalam matematika, atau rumus-rumus rumit periodik kimia yang ia pelajari dengan susah payah, tapi tidak pernah sekalipun membantunya di dalam kehidupan. Kenapa ia tidak menjadi pemuda yang mainstream saja. Toh pandangan-pandangannya soal hidup, soal kelas masyarakat, soal penampilan yang berbeda itu semakin menjerumuskannya ke jurang penderitaan.

Semua kebanggaan di usia remaja menjadi malapetaka yang menjalari kehidupannya saat dewasa. Sonya ingin sekali bersimpuh dan meminta maaf kepada Ibu dan Ayahnya. Selama ini Sonya sangat paham, bahwa dirinya sudah terlalu lama membuat khawatir, membuat sedih, bahkan mengecewakan kedua orangtuanya. Mungkin saja bila kekecewaan itu diibaratkan sebuah gedung di dada orangtunya. Tentunya sudah menjadi gedung yang megah dan mewah, atau setara dengan gedung-gedung pencakar langit atau hotel bintang lima.

“Bodooooohhhhh!!!” Suara Sonya merembes.

Ia mulai bergerak. Tangan yang berpegang besi untuk menjaga keseimbangan berusaha meraih besi yang lebih tinggi. Semua itu demi memudahkannya untuk berdiri. Sonya kini berdiri dengan gagah berani. Solah-olah kematian lebih baik daripada hidup yang begitu brengsek dan menyedihkan macam begini. Orang-orang yang melihat semakin tegang dan penasaran. Sepertinya sebentar lagi kehidupan Sonya akan berakhir.

“Sonya, tenanglah… mohon duduk kembali Sonya. Kita bisa mencarikan solusi atas semua masalah berat yang kau alami, Sonya…” Suara petugas pemadam kebakaran yang masih terus berusaha mengajak Sonya bernegosiasi melalui pelantang suara.

“Semua masalah ada solusinya, Sonya. Jangan bertindak gegabah, Sonya. Jika kau butuh uang, kami ada Sonya…. Akan kami bantu…”

Sementara dua petugas pemadam kebakaran yang bertugas memanjat tower untuk melakukan upaya penyelamatan dengan menggunakan peralatan safety lengkap seperti harness, tali karmantel, dan ascender baru sampai di ketinggian 10 meter.

 

Mobil yang dikemudikan Pak Dadang terjebak macet akibat pawai Sisingaan yang memakan bahu jalan. Dari tempatnya duduk, Ipan mengamati keadaan sekitar. Menurutnya pabrik sepatu tempat Sonya bekerja sudah dekat. Namun, ia sendiri ragu karena baru satu kali mengantar Sonya ke pabriknya, sehingga tidak ingat betul. Muka Pak Dadang tiba-tiba menjadi begitu sengit, mulutnya melongo mengamati kejauhan dari kaca tembus pandang di atas dasbor mobilnya.

Lihat selengkapnya