Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #26

Seserahan

Dua hari setelah kejadian Tower BTS. Ipan dan Sonya pulang ke Surabaya menggunakan Kereta Api Harina. Di dalam gerbong kereta ekonomi nomor delapan yang melaju dengan kecepatan rata-rata 100-120 km/jam itu, Ipan baru saja keluar dari toilet dan kini berjalan ke kursinya sambil menyentuh kumis tipisnya dengan ujung jari yang masih basah. Sementara Sonya tertidur pulas di dekat jendela, sambil selonjoran dan berselimut jaket denim hitam pudar beratribut Punk miliknya.

Sonya memperoleh sertifikat penghargaan dari pabrik karena tindakan gegabah yang hampir menghilangkan nyawanya tempo hari. Baru kali ini, orang yang berniat bunuh diri malah mendapatkan sertifikat penghargaan, atau mungkin hanya tanda penghibur dari bagian personalia untuk memulihkan mental Sonya. Tindakan bodohnya itu secara tidak sengaja telah membongkar permainan salah satu pengawas di divisi Assembling. Pak Wowon resmi dipecat dari pabrik karena terbukti melakukan pungutan liar, dan memalsukan surat pemecatan karyawan.

Selama ini Pak Wowon mengeluarkan surat pemecatan secara sepihak dan akal-akalan, lalu diberikannya kepada karyawan di divisinya untuk tujuan pemerasan. Modusnya hampir selalu sama, yaitu diawali dengan penggiringan opini. Pabrik sedang tidak baik-baik saja dan akan dilakukan pengurangan karyawan. Bagi yang masih ingin bekerja bisa meminta tolong padanya dengan memberikan sejumlah imbalan. Korbannya sudah banyak. Karyawan yang tidak mau setoran akan terus menerus diganggunya, sehingga stres, dan pada akhirnya akan menerima surat pemutusan hubungan kerja darinya dengan alasan tidak mencapai target kinerja yang telah ditetapkan. Lagipula tak satu pun orang mau dipecat, sebab mencari pekerjaan begitu sulitnya. Setelah karyawan yang bersangkutan diberikannya surat pemecatan merasa benar-benar terusir dari pabrik, Pak Wowon akan membuatkan surat pengunduran diri palsu yang akan ia kirimkan ke bagian personalia. Jadi intinya, jika ingin bertahan di divisinya harus setor sejumlah uang atau akan terus menerus dirundung dengan ketakutan-ketakutan dan ancaman-ancaman pemecatan.

Sonya mendapatkan cuti cuma-cuma dari pabrik untuk memulihkan kondisi mentalnya selama satu minggu penuh. Dan ia pun memilih pulang menemani Ipan yang tengah mempersiapkan acara pertunangannya dengan Phuspa. Lima hari kedepan, Ipan akan membawa serta ibu, ayah Sonya, dan keluarga dari pihaknya untuk mendampingi meminang Phuspa ke Bekasi, sekalian membicarakan hari dan tanggal pernikahan dengan orangtua Phuspa.

Sonya terbangun dan ingin kencing. Dilihatnya wajah Ipan di kursi sebelahnya. Mata Ipan seperti mengantuk tapi tidak bisa tidur. Nafas Ipan dua hari ini seperti orang pilek, tapi ia tidak pilek. Menurut keterangan Ipan, dirinya kini alergi debu. Sehingga sesekali bunyi nafasnya tidak mulus, dan semacam ada lendir yang menyangkut entah di hidungnya atau di tenggorokannya.

“Mikir apa, Pan? Nggak tidur?” Sapa sonya sekembalinya dari toilet.

“Ini lagi berusaha tidur, Son.”

“Mikir mau nikah ya? Tenang saja nanti aku ajari.”

“Pernikahanmu saja berantakan, nggak sudi aku belajar darimu.” Ipan tertawa.

Sonya lantas ikut tertawa karena tertular kebahagiaan Ipan.

“Kalau aku tidur duluan, tugasmu menutup mataku.” Ipan tiba-tiba meminta.

“Iya, nanti kuusap matamu yang nggak bisa merem itu seperti adegan-adegan di sinetron religi.”

Sonya menata tubuhnya senyaman mungkin untuk persiapan melanjutkan tidurnya. Perjalanan masih panjang, dan jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul sebelas malam.

 

Sesampainya di Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Ayah Sonya telah menunggu di pintu kedatangan. Ayah Sonya begitu bahagia menyambut kedatangan Sonya yang pulang dari perantauan untuk pertama kalinya setelah satu tahun. Walau jika di rumah, keduanya sering bertengkar dan berbantah-bantahan tidak jelas. Namun, ketika jauh, sebenarnya keduanya saling merindukan. Kadangkala memang begitulah hubungan Ayah dan anak lelakinya, masing-masing sama-sama kurang bisa menunjukkan rasa hormat dan kasih sayangnya.

“Halo, Yah. Yok opo kabare?” [1] Sapa Sonya ketika berjumpa dengan Ayahnya.

“Alhamdulillah, sehat.” Jawab Ayah Sonya sambil tersenyum.

“Pakde.” Ipan menyapa, lalu bersalaman.

Tidak ada yang istimewa dari pertemuan itu, padahal hati ayah Sonya bahagianya luar biasa. Hanya saja ia seorang ayah yang lagi-lagi tidak bisa menunjukkan ekspresi sayang kepada anak-anaknya. Mereka naik mobil, ayah Sonya yang mengemudi. Mobil itu milik Pakde Jono, tetangga sebelah rumah yang lumayan kaya dan terkenal baik hati kepada tetangga.

“Makan di rumah atau makan di warung?” Ayah Sonya menawarkan, sambil memutar kunci untuk menyalakan mesin.

Lihat selengkapnya