Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #27

Cobaan

Setelah menemui orang dari jasa pengemasan dan hias seserahan. Ipan menemui ibunya di rumah. Rumah itu masih seperti dahulu kala, hanya saja catnya kini berganti, dahulu putih tulang, sekarang biru langit. Bunyi lonceng di teras dan barisan piala memenuhi ruang tamu membuat Ipan sedikit bernostalgia. Karir futsalnya resmi berakhir saat menjelang skripsi, karena sebagai lelaki ia harus mulai memikirkan masa depan yang lebih baik dan juga realistis.

Adik Ipan yang kini telah tumbuh menjadi gadis remaja dengan sopan menyambut kedatangannya.

Pinarak[1] Mas Ipan. Ibuk sudah nungguin Mas Ipan, dari tadi.”

“Intan, kamu sehat-sehat?”

“Alhamdulillah sehat, Mas.” Jawab Intan sambil bersalaman dan mencium tangan abangnya.

“Ini… Mas Ipan bawa oleh-oleh.”

“Bronis Bandung Mas?”

“Iya, sama kaos buat kamu. Mbak Phuspa yang belikan, mudah-mudahan pas.”

“Wih, makasih buanyak loh mas.”

Ibu Ipan segera terlihat, beliau baru saja keluar dari kamar dan segera memeluk Ipan.

“Sehat-sehat, Nak?”

“Sehat Buk.”

“Phuspa juga sehat?”

“Sehat, Buk. Mana Om Anto, Buk?” Ipan berbisik.

“Barusan berangkat kenduri[2] di rumah Palek Bejo.”

“Palek Bejo Sugiantoro Persebaya?”

“Iya.. Kamu sama Sonya, Nak? Mana dia?”

“Tadi dia ketemu temannya di gapura gang depan, sebentar lagi juga ke sini.”

“Intan buatkan minuman ya Buk?” Intan menyela dengan sopan.

“Iya, boleh Dik.” Jawab Ibunya.

Intan lantas menuju dapur membuat minuman.

“Ipan kangen banget sama Ibuk.”

“Iya, Ibuk juga.. Seserahan buat Phuspa Ibuk taruh di rumah Pakde, soalnya waktu telepon kamu bilang mau nginap di rumah Pakde saja.”

“Iya, tadi sudah Ipan bawa ke tukang hias seserahan, Buk.”

Intan datang membawa nampan minuman dan kue bronis yang dibawa Ipan tadi sudah dipotong-potong dan disuguhkan.

Ibu Ipan perlahan beralih dan mengambil sesuatu dari kamarnya. Ia membawa sebungkus amplop yang lalu ia berikan kepada Ipan.

“Ini untuk bantu-bantu biaya tunanganmu sama acara nikahan nanti.”

Amplop yang dibawa ibunya tadi berisi uang tunai.

“Nggak usah, Buk. Ini lo tabungannya Ibuk. Ipan sudah kerja Buk. Insya Allah cukup.”

“Nggak bisa begitu, Nak. Ibuk masih orangtuamu. Ibuk juga punya kewajiban. Toh Ibuk juga masih kerja. Ini memang sudah ibuk siapkan dari jauh-jauh hari untuk membantu biaya pernikahanmu. Juga Ibuk minta maaf kalau jumlahnya nggak banyak.”

Mendengar itu Ipan diam sesaat. Ia begitu terharu. Kasih ibu memanglah sepanjang masa. Ipan perlu melihat Intan. Intan tersenyum dan mengangguk seakan memberikan persetujuannya. Intan adiknya itu memanglah seorang adik yang terkenal berbakti kepada keluarga.

“Om Anto. Ohh. Maksudku Ayah Intan nggak keberatan, Buk?”

“Loh ini kan tabungan Ibuk sendiri, Ayah nggak akan ikut campur.”

Ipan pun menerima amplop dari ibunya itu. Sejujurnya mengurus pernikahan memang pekerjaan gotong royong yang membutuhkan banyak biaya dan uluran tangan keluarga besar.

“Kamu pilek, Nak?”

“Nggak Buk. Ini nafasku kata dokter hanya alergi debu, nanti juga sembuh sendiri. Malam ini jam sepuluh mau main futsal sama arek-arek Buldozer[3].

Lihat selengkapnya