Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #28

Bertunangan

Setelah menempuh perjalanan panjang dari Surabaya menuju Bekasi menggunakan mobil Toyota Innova milik Pakde Jono yang memakan waktu kurang lebih tiga belas jam. Ipan beserta keluarga tiba di rumah orangtua Phuspa pukul delapan malam. Ibu Ipan, Intan, Ayah Sonya, Ibu Sonya, dan Sonya turut hadir mengiringi Ipan. Mereka disambut hangat dengan hidangan opor ayam, es teh manis, irisan semangka, irisan melon, dan jeruk mandarin. Momen pertunangan Ipan dan Phuspa adalah momen pertama kali buat keluarga Ipan bertemu dengan Papa dan Mama Phuspa. Sementara Ipan dan Phuspa sendiri hanya bersalaman dan hanya saling melirik di antara para calon besan yang sibuk mengakrabkan diri satu sama lain.

Orangtua Phuspa menyewa rumah milik tetangga yang kebetulan letaknya tidak begitu jauh untuk digunakan menginap sementara keluarga Ipan dari Surabaya. Yang terlihat paling menonjol di antara mereka adalah Ayah Sonya yang tentu saja berkumis seperti Anil Kapoor dan banyak bicara kepada Papa Phuspa. Kedua bapak-bapak itu tengah mengobrolkan musim penghujan, harga beras, harga bawang putih, dan harga cabai keriting di kota masing-masing.

Saat meletakkan piring di dapur dan disambut oleh keluarga Phuspa yang bertugas bantu-bantu, Mama Phuspa sempat bertanya kepada Phuspa. “Itu yang tatoan, anaknya Pakde Phus?”

“Bukan, Ma, yang tatoan itu jukir liar.”

Mata Mama Phuspa mendelik, Phuspa menertawai.

“Phuspa bercanda, Ma... Iya itu Sonya, anaknya Pakde, sepupu Ipan.” Phuspa mencoba menerangkan.

“Oh, yang kerja di Subang itu?” Jawab Mamanya.

“Iya.”

“Nyentrik ya anaknya, kelihatannya dia orang yang asik untuk diajak ngobrol soal pandangan hidup.”

“Iya, kayaknya bakal cocok deh sama Mama. Mama waktu muda kan Rock n Roll.”

Sementara di ruang tamu, obrolan masih berlanjut. Ayah Sonya dan Papa Phuspa kini membicarakan pemerintahan saat ini dibandingkan dengan pemerintahan Orde Baru. Ipan duduk sunyi di antara Intan dan ibunya. Sejenak ia menghirup nafas panjang penuh dengan rasa syukur. Setidaknya salah satu cita-cita luhurnya, yaitu membangun keluarga yang harmonis sebentar lagi akan terwujud. Dalam keadaan yang demikian, di sela-sela obrolan Pakde dengan Papa Phuspa. Pakde mendeham dan melirik ke arah ibu Ipan. Dehaman itu adalah pertanda menginginkan pamit dan beristirahat seusai perjalanan panjang. Mereka harus beristirahat, sebab besok acara pertunangan Ipan yang menghadirkan keluarga besar akan digelar mulai pukul 09.00 pagi.

Ibu Ipan mengangguk, menyetujui dehaman Pakde.

“Baik, Pak. Malam ini kami undur diri untuk beristirahat.” Kata Pakde kepada Papa Phuspa.

“Boleh, Pak. Rumah untuk menginap sudah kami siapkan nggak jauh dari sini. Jadi biar mudah. Mari saya antarkan.” Ucap Papa Phuspa sambil mengawali berdiri hendak mengantarkan tamunya.

“Kalau semisal butuh apa-apa bilang saja ya, Pak.” Papa Phuspa menawarkan.

Ipan tertinggal sebentar di teras rumah orang tua Phuspa. Ia perlu sedikit mengobrol dengan calon tunangannya semenit-dua menit.

“Capek, Yah, nyopir seharian?” Phuspa bertanya.

“Capek sih sedikit. Dan anehnya capek itu langsung hilang saat lihat senyum Bunda.. Bunda cantik malam ini.”

“Malam ini doang cantiknya?”

“Maksud Ayah, lebih cantik. Pas saja pakaian sama riasannya.”

Phuspa hanya membalasnya dengan senyuman.

Lihat selengkapnya