Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #29

Menikah

Phuspa terjaga di kursi sofa dengan mata sembab dan hati pedih, kesedihannya belum bisa diurai oleh waktu yang terus beranjak pergi. Dengan tisu ia mengusap airmata yang merembes dari kedua sudut matanya.

Kehidupannya kini laksana menaiki perahu kecil yang retak terhantam batu karang, hanya menunggu waktu sebelum perahu kecil itu karam dan menyeretnya ke pusaran lautan dalam. Di hadapannya seseorang yang paling ia cintai sedang terbaring lemah. Phuspa mencoba beristirahat, namun keadaan tengah membuat otaknya terus bekerja. Overthingking-nya jauh lebih besar dibandingkan rasa letih yang mendera tubuhnya. Ia terus saja memikirkan kemungkinan-kemungkinan, memikirkan kenyataan, memikirkan hidup yang ternyata begitu pilu. Bahkan hatinya memberontak dan tidak bisa menerima kenyataan pahit yang seberat ini.

Kadangkala bayi di dalam kandungannya menendang-nendang. Tapi hal itu malah membuatnya menangis sedu sedan. Entah, bagaimana jadinya nanti. Usia kandungan Phuspa kini memasuki usia tujuh bulan, dan keadaan telah berubah sedrastis ini. Akhir-akhir ini nasibnya laksana dilesati anak panah yang menembus jantung. Takdirnya seperti dihujami mata pedang tajam yang merontokkan hati. Bertubi-tubi, cobaan menyeruduk tanpa rasa iba, tanpa ampun.

Dalam keadaan baringnya yang begitu sentosa, dengan hidung terpasangi alat bantu pernafasan yang terhubung pada mesin ventilator. Ipan justru bermimpi panjang tentang kehidupannya yang begitu dramatis.

 

Dua bulan setelah acara pertunangan…

“Saya terima nikahnya… Phuspa Danisha binti Budi Supratman dengan maskawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar limaratus ribu rupiah di bayar tunai…”

“Saaahhh…” para saksi menyahut.

“Alhamdulillah.” Ucap Pak Penghulu melepas jabatan tangan Ipan. Beliau lantas memimpin doa dan diaminkan oleh kedua mempelai, para wali, dan para saksi yang hadir.

Ipan dan Phuspa melangsungkan acara pernikahan dan menggelar resepsi selama satu hari di hari minggu yang bertempat di kediaman orangtua Phuspa di Bekasi. Acara pernikahan berlangsung secara adat Jawa dan sunda, dan terlaksana dengan khidmat dan penuh sukacita. Ipan dan Phuspa duduk berdampingan di kursi pelaminan bagai seorang raja dan ratu. Keduanya nampak serasi dalam balutan busana pengantin berwarna hitam berornamen ukiran keemasan di sekujur dada, permukaan perut, dan ujung lengan. Sementara pakaian bawah keduanya adalah kain batik. Ipan mengenakan semacam peci Mataram bermanik bunga untuk menutupi kepala, berkalung untaian ronce kuncup bunga melati, serta keris terselip di punggunya. Sementara Phuspa dipasangkan sanggul yang dihiasi tujuh cunduk mentul di atas riasan paes ageng dan ditambahkan ronce kuncup melati yang magis dan penuh filosofi. Papa dan Mama Phuspa mendampingi di kursi sebelah kanan pengantin, begitu juga Ibu Ipan dan Pakde di kursi sebelah kiri.

Tamu yang datang banyak sekali. Turut hadir di antaranya teman-teman kerja dan bahkan teman-teman kuliah Ipan dan Phuspa. Nampak duduk di tengah-tengah tamu undangan adalah Dasep Mulyana yang makan bakso sampai dua kali, ia merasa pesta itu adalah pestanya juga karena ia mengenal dekat Ipan dan Phuspa. Pak Dadang juga hadir bersama istri dan ketiga anaknya, mereka sedang menyantap kambing guling. Karina bersama ayah dan ibunya sedang berfoto dengan kedua mempelai di atas panggung pelaminan. Zulfani datang seorang diri dan kini sedang beramah tamah dengan kakek bos yang juga turut datang dari Jakarta. Ipan juga melihat si ganjen Rizal yang dulu mengejar-ngejar Phuspa kini membawa pasangannya sendiri, entah kekasih, entah temannya, entah tetangganya, entah pacar sewaan untuk mengesani Ipan dan Phuspa, karena Rizal mempunyai sifat tidak mau kalah dari siapa pun.

Sonya dari jauh memandangi Karina yang begitu cantik sambil menemani Intan, Mbak Fitri, dan ibunya minum es sirup rasa jeruk di pojok tempat duduk para tamu. Karena terus menerus melihat ke arah pelaminan, lalu tak sengaja melihat muka Tante Dewi yang penuh haru itu, Sonya jadi ikut merasakan kesedihan hati Tante Dewi, di mana suaminya tidak pernah mau ikut mendampinginya dalam acara apa pun yang berhubungan dengan Ipan. Suami Tante Dewi yang dimaksud adalah Om Anto. Om Anto itu bagi Sonya adalah orang dewasa yang tidak bisa membawa diri. Pria egois yang tidak pernah menganggap Ipan sebagai anaknya. Padahal semua kericuhan dahulu kala adalah semata-mata ulah Om Anto sendiri. Lelaki brengsek dan tak tahu diri, Sonya mendengkus. Untunglah Intan anak Om Anto lebih seperti Tante Dewi, gadis pengertian dan cenderung penurut. Mungkin Intan juga tahu bahwa ayahnya bukanlah seorang pria yang bisa diharapkan, olehnya ia lebih dekat kepada ibunya.

Dalam keadaan demikian, pundak Sonya ditepuk seseorang. Sonya menoleh. Lelaki muda berbaju batik bernuansa gelap tengah tersenyum kepadanya. Parfum beraroma Tonka Bean menguar darinya.

Lihat selengkapnya