Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #32

Ingin Punya Rumah

Suatu pagi di hari Minggu, ketika kehamilan Phuspa memasuki usia empat bulan...

“Ayah jadi lebay gini sih sekarang,” Protes Phuspa kepada Ipan. Saat keduanya duduk di kasur kos-kosan pasutri yang mereka sewa, berukuran 4x5 meter persegi, berkamar mandi dalam, dan berkulkas pribadi. Phuspa tengah selonjoran dan Ipan sedang bersila mengerjakan sesuatu. Keduanya berhadap-hadapan sambil menonton film 500 Days Summer melalui laptop. Minggu adalah satu-satunya hari, di mana keduanya bisa saling bercengkrama panjang dan bisa benar-benar lepas dari pekerjaan. Sebab hari Sabtu Ipan masih harus bekerja selama setengah hari untuk reporting.

“Kok lebay, kan demi kebaikan Bunda.” Jawab Ipan sambil mengupas dua buah apel untuk ia makan bersama Phuspa.

“Masak Bunda mau makan risoles aja nggak dibolehin dari kemarin-kemarin.”

“Risoles kan digoreng pakai minyak, nggak baik lah buat kesehatan ibu hamil.”

“Ya ampun, Yah, nggak segitunya juga. Makan risoles dua atau tiga nggak bakal ngaruh, kok. Kecuali kalau makan risolesnya satu baskom. Bunda masih muda, metabolisme tubuh Bunda masih bisa mencerna gorengan asalkan nggak berlebihan.”

Ipan tersenyum, “Bunda, makan buahnya.” Sambil menyodorkan irisan buah apel, “Besok Ayah belikan risoles mentahannya deh, biar ayah yang goreng sendiri di dapur. Seenggaknya kalau digoreng sendiri kan dalam tanda kutip agak sehat.” Ipan menjelaskan itu dengan dua jari, seolah benar-benar membubuhkan tanda kutip dari omongannya tadi.

“Nah gitu dong, Yah. Ayah memang suami terbaik.”

“Ini Bunda pengen makan risoles dalam kategori pengen aja apa lagi ngidam.”

“Nggak tahu ya, pengen aja sih, Yah. Nggak ngidam-ngidam banget.”

Ipan pamit ke dapur umum kos-kosan untuk mencuci pisau. Sekembalinya dari mencuci pisau di wastafel dapur umum ia beringsut naik ke atas ranjang.

“Brosur perumahan KPR di Cimahi kemarin masih Bunda simpan nggak?”

“Masih, Yah. Jadi gimana, jadi ambil rumah?”

“Ayah pikir nggak ada salahnya sih ya, daripada ngekos begini. Apalagi kita mau punya anak.”

Phuspa memandang teduh wajah suaminya.

“Bunda sih terserah Ayah aja, berarti kita menetap di Cimahi. Ayah sudah nggak pengen pindah-pinda lagi, atau nggak pengen dekat sama Ibuk di Surabaya?”

Lihat selengkapnya