Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #35

Covid-19

Menginjak tahun 2020 seharusnya ada penemuan besar. Semacam gebrakan besar di bidang teknologi, atau sesuatu yang menandai modernisasi zaman. Tahun 2000 telah memasuki tahun yang ke 20. Namun justru keadaan seperti mundur ke beberapa dekade sebelumnya. Orang-orang dihimbau untuk memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, dan menggunakan alat perlindungan diri dari kontak langsung terhadap orang lain. Awal tahun 2020 pandemi Covid-19 mulai melanda Indonesia. Di waktu-waktu itu, kehidupan berbalik 360 derajat. Orang harus menjaga jarak satu sama lain, baik saat berinteraksi, saat bekerja, maupun saat beribadah. Tempat-tempat berkumpul seperti sekolah, kampus, mall, supermarket, kafe, kedai kopi, restoran, bahkan hotel menjadi sepi pengunjung karena penerapan program nasional Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan dilanjutkan dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) hingga beberapa tahap dan berlangsung dalam waktu selama kurang lebih tiga tahun. Hal itu sebagai upaya preventif pemerintah untuk menekan laju penyebaran virus Covid-19 yang kian banyak menelan korban.

Saban menit sirene ambulans menguing di udara, ambulans-ambulans itu menuju rumah sakit membawa korban baru yang terjangkit Covid-19 atau menuju pemakaman dalam rangka menguburkan korban pandemi Covid-19 secara protokol kesehatan. Dari hari ke hari, angka lonjakan kasus Covid-19 semakin naik, hal itu diiringi dengan anjloknya sektor ekonomi dan bisnis. Dampaknya mulai dirasakan masyarakat. Jutaan karyawan swasta di-phk atau dirumahkan dengan penghasilan yang tentu saja tinggal setengah atau seperempat.

Hampir semua sektor bisnis mengalami kerugian yang signifikan kecuali sektor kesehatan, yang meliputi vaksin, obat-obatan, alat kesehatan, desinfektan, dan nutrisi. Serta sektor komunikasi dan internet yang karena pembatasan interaksi secara langsung justru kebanjiran omset karena peralihan perilaku dari offline ke online. Dunia pernah menjadi gempar dan semencekam itu karena virus mematikan dan media yang seolah-olah menjadi corong yang terus menerus mendengungkan Covid-19 siang dan malam. Jalanan dan tempat-tempat umum pernah menjadi sangat sepi. Orang dilarang keluar rumah, apalagi dengan kebijakan isolasi mandiri bagi satu orang atau satu keluarga yang terkena demam, batuk, ataupun pilek. Membuat kebanyakan orang menjadi paranoid.

Dasep pun gigit jari karena omset bisnis clothing dan distronya terjun bebas semantara ia harus menggaji para karyawan. Mau tidak mau, beberapa karyawan harus dipangkas sebagai pilihan terakhir seorang pebisnis agar pengeluaran bisa ditekan dan usahanya bisa bertahan.

 Anhar tetangga Ipan mengajak Ipan untuk mampir ke clothing milik Dasep di jalan Ahmad Yani. Anhar sedang survei harga untuk membuat jaket seragam kantor tempatnya bekerja sebanyak seratus pieces. Pagi tadi secara tidak sengaja Anhar bertanya kepada Ipan soal tempat pembuatan jaket. Keduanya memang tetangga akrab dan sering joging bareng di pagi hari mengitari kompleks perumahan mereka.

“Nah, kebetulan, Har. Aku punya teman yang menggeluti usaha pembuatan pakaian.” Jawab Ipan.

“Wah, boleh tuh, Pan. Elu antar Gue survei ya nanti siang.”

“Boleh, Har. Di jalan Ahmad Yani tempatnya.”

“Jalan Ahmad Yani di mana itu? Gue nggak hafal nama jalan, Pan.”

“Di Cicaheum.”

Anhar mengemudi mobil dengan wajah tertutup masker dua lapis. Ipan duduk di sampingnya juga mengenakan dua lapis masker serupa dengan Anhar. Masker medis lalu dilapisi masker kain. Covid-19 memang sedang ganas-ganasnya. Menurut berita di televisi maupun di media sosial angka positif Covid-19 dan angka kematian akibat Covid-19 terus saja meningkat. Bahkan ditemukan varian baru yang disebut Omicron yang lebih cepat dan lebih berbahaya.

“Nah itu tempatnya, Har.” Ipan menuding distro milik Dasep dengan telunjuknya. “Harganya sih menurutku cukup terjangkau.”

Anhar mengangguk paham, kemudian mencari tempat parkir. Setelah memarkir mobil dengan sempurna di tepi jalan, Ipan turun diikuti Anhar di belakangnya. Keduanya berjalan menuju distro milik Dasep.

Ipan masuk dan melihat wajah Sonya yang tertutup masker, Sonya tengah duduk santai di dekat meja kasir.

“Sonya Langlang Buana!” Ipan menyeru.

Sonya pun menoleh.

“Ipan, dungaren koen mrene? [1]

“Iya, ini ngantar Anhar tetanggaku. Mau cari jaket seratus pieces.”

“Bisa, bisa banget. Desainnya sudah ada apa perlu kita buatkan, Mas Bro?” Sonya bertanya kepada Anhar.

Lihat selengkapnya