Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #36

Diagnosa

Satu malam, Ipan benar-benar tidak mampu lagi beraktivitas seperti biasanya. Badannya kian terasa lemas. Dada serta ulu hatinya terasa penuh dan nyeri. Ini hari kedua ia susah tidur dan tidak bisa buang air besar. Ia pikir ia sembelit atau keracunan makanan. Ia banyak minum air dan bahkan konsumsi air kelapa muda untuk menetralisir racun. Tapi entahlah, badannya justru semakin tidak berdaya.

Sementara usia kandungan Phuspa kini menginjak usia lima bulan. Waktu begitu cepat berlalu, sudah hampir dua tahun sejak mereka kehilangan Aidan Putra, anak pertama mereka.

"Besok Ayah ke rumah sakit. Periksa, Yah." Saran Phuspa ketika memijat-mijat badan Ipan.

Ipan nampak merenung. "Badan Ayah rasanya sakit semua. Apa Ayah kena demam berdarah ya?"

"Makanya, daripada menduga-duga nggak jelas begini, mending Ayah periksa saja. Biar kalau ada apa-apa cepat ditangani sama dokter."

"Iya, Bunda. Besok pagi-pagi kita ke rumah sakit."

"Iya, Yah. Sekarang Ayah berusaha tidur."

“Iya, Bunda juga tidur ya.”

Jawab Ipan sambil mengelus perut Phuspa yang tengah mengandung anaknya yang kedua. Menurut perkiraan dokter dari hasil pemeriksaan USG, janin yang dikandung Phuspa berjenis kelamin perempuan. Mudah-mudahan anaknya itu sehat dan tidak kurang satu apa pun.

Ipan berusaha tidur. Dan nafas istri tercinta yang tertidur di sampingnya membuat damai hatinya yang sedang sendu. Ia bersyukur memiliki pasangan hidup seperti Phuspa. Perempuan tegar dan cerdas yang selama ini selalu meringankan beban yang ia emban. Perempuan penyelamat dari kenangan masa kecil dan remaja yang lumayan memuakkan. Hidupnya menjadi lebih berwarna semenjak ia jalani bersama Phuspa.

Ipan memeluk Phuspa, dan berbisik. “Terima kasih sudah mau menjalani hidup dengan lelaki sepertiku…”

**

Jarum jam menunjuk pukul empat subuh, saat aku memutuskan mengikuti saran dari istriku untuk segera periksa ke rumah sakit. Udara pagi itu masih sangat dingin dan menyayat kulit serta terasa sampai ke tulang. Di luar rumah kulihat kabut putih pekat dengan aroma khas pegunungan Cimahi masih menggelayut di udara. Sesekali terdengar kokok ayam jantan entah milik siapa yang menandakan matahari tidak lama lagi akan keluar memecah kegelapan.

Setelah bersiap, aku pun berangkat ditemani istriku. Waktu itu kami memilih moda transportasi taksi online karena aku sudah tidak kuat untuk mengemudi. Sebelum perjalanan, aku sempat menghubungi ibu yang berada di Surabaya.

“Ibuk, Ipan mau berangkat ke rumah sakit untuk berobat, tolong doakan agar cepat sembuh ya, Buk.”

“Iya, Ibuk selalu mendoakan agar cepat sembuh dan tidak ada apa-apa, Nak.”

Setelah itu pembicaraan kami terputus karena sudah dekat dengan rumah sakit yang dituju. 

Sesampainya di IGD Rumah Sakit Cahya Kawaluyan (RSCK) Bandung Barat, seorang perawat lantas menolongku berbaring di bed pasien agar segera mendapatkan penanganan. Dokter jaga bertanya seputar keluhan yang aku alami, kujawab dengan biasa saja, tanpa ada firasat apa-apa. Yang aku keluhkan adalah sakit di bagian perut dan uluhati, serta tidak bisa BAB beberapa hari ke belakang. Semua kusampaikan ke dokter jaga dan dokter jaga hanya mengangguk sebanyak lima kali.

“Kita cek darah ya…” Dokter jaga menerangkan.

Setengah hati aku mengiyakan, karena aku agak phobia dengan jarum suntik. Tidak lama kemudian suster yang bertugas mengambil darah datang untuk mengeksekusi. Sambil menahan nafas dan menutup mata akhirnya aku bisa melalui fase pengambilan darah tersebut. Tidak lama terdengar suara gaduh dari depan IGD. Aku hanya menutup mata karena tubuhku terasa sangat lemas. Terdengar seseorang sedang ditolong masuk ke IGD beramai-ramai dan ditempatkan di bed pasien sebelahku. Bed kami hanya dibatasi tirai. Dari pembicaraan mereka kudengar, seseorang di sebelahku adalah bapak-bapak korban tabrak lari, dan bapak tersebut adalah seorang pemulung yang tidak diketahui identitas serta keluarganya. Ia merintih kesakitan karena luka serius di bagian kepala. Itu pun masih kudengar dari keterangan dokter jaga, meski aku hampir-hampir tertidur.

Tidak lama istriku menyentuh lenganku. Ia pamit ingin cari udara segar karena tidak tega mendengar rintihan bapak-bapak korban kecelakaan di samping tempatku berbaring. Istriku memilih untuk menunggu di luar supaya suara rintihan itu tidak terdengar. Aku mengangguk mengiyakan. Tidak lama berselang, dua orang perawat mendorong bed-ku ke ruang rontgen.

 Proses rontgen tidak begitu lama. Aku diperbolehkan berbaring kembali di bed pasien. Kurasakan tubuhku hanya seperti kain basah yang tidak punya tenaga. Dua perawat tadi kembali mendorong bed tempatku berbaring ke ruang IGD. Sewaktu kembali ke IGD, bapak-bapak korban tabrak lari tadi sudah dipindahkan ke pojok agak jauh, karena penanganan pertama sudah dilakukan oleh dokter jaga dan tim medis. Aku buru-buru menelepon istriku agar ia kembali ke ruangan. Kami mengobrol santai dan tidak berpikir langit akan runtuh secepat ini.

Lihat selengkapnya