Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #37

Berdamai Dengan Keadaan

Bed tempatku dirawat di ruang Rafael didorong oleh suster. Tujuannya jelas ke satu ruangan yang sudah berdengung-dengung di kepalaku sejak beberapa hari lalu. “Gledek.. gledek... gledek…” Bunyi rodanya menggerus lantai putih lorong rumah sakit yang panjang. Di atasnya aku terbaring seperti boneka manekin pucat. Sungguh ini semua terasa demikian pahit.

Di ujung lorong kubaca Ruang Hemodialisa. Jantungku kembali berdebar-debar, otakku serasa mampat. Apalagi yang akan aku hadapi? Ingin rasanya aku berlari menjauh, namun penyakit ini serasa mengikatku erat-erat.

“Suster, apa ini akan sakit?”

“Pasti akan ada rasa sakit, Pak.”

Mendengar itu aku membisu.

Cemas, sakit, sedih, takut menjadi satu dalam tarikan nafas panjang dan mata yang memejam. Suster menyemprotkan cairan anestesi yang terasa dingin, lalu melubangi pangkal paha untuk akses keluar darah dari tubuhku. Sementara pembuatan akses di lengan kanan untuk mengalirkan darah kembali masuk ke dalam tubuh terasa begitu lama, karena terjadi pembengkakan di lengan akibat banyaknya cairan dalam tubuh. Dengan teramat sakit dan berat hati, dua akses keluar masuk darah pun terbentuk. Akses itu diikat agar aku tidak bisa bergerak, karena gerakan sekecil apa pun beresiko melukai diriku.

Proses cuci darah pun dimulai.

“Bapak boleh tidur atau menonton tivi ya, Pak. Sampai prosesnya selesai.”

Tapi, lenganku terasa sakit.

“Suster, tangan saya sakit sekali…”

Suster segera memeriksa. “Oh, ini aksesnya kurang tepat, Pak. Kita ganti tangan kiri ya.”

Dadaku tersengal, rasanya ngilu sekali, ketika harus mengulang proses menyakitkan ini. Semua jarum dan selang di lengan kanan segera dicabut dan digantikan lengan kiri. Rasa sakit, sedih, sebal, dan takut terus saja menghantui.  

Proses cuci darah memerlukan waktu tiga setengah hingga lima jam. Aku tertidur dan bermimpi panjang tentang padang rumput luas tak berbatas berwarna kekuningan. Warna-warna indah di dalam hidup seperti terhisap habis ke dalamnya. Kulihat di dalam mimpiku, diriku yang masih kecil begitu lincah dan kuat. Mendadak bola-bola futsal menggelinding ke arahku, aku menyambutnya dengan beberapa sepakan ke arah jauh.

**

Hari-hari kulalui sambil berperang melawan putus asa dan kedukaan, serta usaha yang benar-benar keras untuk menerima kenyataan. Detik demi detik, di dalam kesadaranku, aku terus saja berlatih berdamai dengan keadaan. Untunglah kantor tempatku bekerja memberiku kesempatan untuk fokus pada pengobatan terlebih dahulu. Teman kantor maupun teman kuliah yang mengetahui sakitku memberondong HP milikku dengan pesan Whatsapp. Mereka memberikan kata-kata penghibur dan penyemangat. Kusempatkan untuk membalas pesan mereka satu persatu agar pikiranku tidak terkungkung di dalam kesedihan.

Istriku menghabiskan cuti tahunannya untuk menemaniku pada hari-hari pertama ketika semua harapan terasa sirna. Mama mertua juga menginap di rumah kami sebagai teman berjuang. Harapan terbesarku untuk hidup lebih lama adalah istri yang begitu tabah dan calon anak kami yang berada di kandungannya. Wajah Phuspa, istriku terlihat begitu tegar di hadapanku, namun aku juga tahu ia menangis diam-diam ketika tidak berada di dekatku. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, karena kadangkala pura-pura kuat memang harus dilakukan agar keadaan tidak semakin buruk.

Besok adalah jadwal cuci darah yang kedua. Setelah yang pertama menjadi satu rangkaian saat rawat inap di paviliun Rafael beberapa hari lalu. Aku dijadwalkan untuk rutin cuci darah seminggu dua kali setiap hari rabu dan sabtu di Rumah Sakit Sentosa, Bandung. Pada akhirnya aku harus berdamai dengan jarum suntik yang dari dulu menjadi phobia. Semacam dipaksa berdamai dengan musuh bebuyutan. Tidak ada pilihan selain menjalaninya. Menjalaninya bukan menghadapinya.

Lihat selengkapnya