Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #38

Anhar

Ketika ibu mendengar kalau aku didiagnosa gagal ginjal, tangisannya langsung pecah di seberang telepon. Aku pun ikut menangis. Keadaanku begitu rentan ketika dihadapkan pada kenyataan seburuk ini, ditambah mendengar tangis ibu adalah neraka bagi anaknya. Dua hal itu yang membuatku turut berduka untuk kesekian kalinya.

“Ibuk akan segera cuti dan menjengukmu ke Cimahi, Nak.” Suara ibu dari seberang telepon dibarengi isak tangis.

“Maafkan Ipan, Buk. Merepotkan Ibuk.”

Ndak, Nak. Kamu tetap anak Ibuk meski sudah dewasa. Ibuk janji akan segera kesana.”

Saat aku menelepon ibu, itu adalah pagi hari setelah cuci darah yang pertama. Setelah cuci darah badanku terasa lebih baik dari sebelumnya. Awalnya aku maju mundur hendak mengabari ibu tentang penyakit yang kuderita. Takut membuatnya sedih, takut membuatnya khawatir karena kami jauh. Istriku memberi saran agar aku mengabari ibu saat aku siap. Dan semakin menunda mengabari ibu kupikir adalah kesalahan besar, bagaimana bisa seorang ibu tidak diberi tahu kalau anaknya tengah sakit keras. Akhirnya, pagi itu aku menelepon dan mengabarinya.

**

Dan kini setelah cuci darah yang kedua, tubuhku terasa lebih ringan. Aku pulang bersama istriku menjelang magrib menggunakan taksi online. Sesampainya di rumah, kami disambut Mama mertuaku dan aroma sedap soto ayam masakan beliau. Istriku menyuapiku dengan porsi yang lebih sedikit dari saat aku sehat. Semuanya serba dibatasi, termasuk air yang dulu kuminum sepuasnya, kini harus dibatasi. Orang yang ginjalnya dalam masalah tidak boleh minum terlalu banyak karena penyerapan cairan yang disaring ginjal dan menuju saluran kencing tidak dapat berlangsung secara normal. Akibatnya cairan tersebut menumpuk di dalam tubuh, dan dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Batas untukku minum adalah tidak melebihi 600 mililiter air dalam satu hari.

Malam itu sampai pagi harinya, semua berjalan wajar. Istriku mulai bekerja, dan Mama mertua yang menjagaku di rumah. Aku sempat membantu Zulfani menulis laporan dan kukirim lewat Whatsapp. Bagaimanapun aku masih bagian dari perusahaan tempatku bekerja, jadi sebisa mungkin masih harus berkontribusi.

Sore hari, istriku pulang dari pekerjaan. Dan rasanya ketika ia bekerja waktu terasa sangat lama. Begitu mendengar salam darinya dan kulihat wajahnya dari balik jendela kaca ruang tamu hatiku begitu gembira. Aku begitu merindukan istriku, padahal kami hanya berpisah selama beberapa jam. Kini keberadaannya menjadi penenang lahir dan batin. Aku memeluknya detik itu juga. Dari wajahnya ia seperti merasa aneh dengan sikapku. Namun, ia segera mengerti dan membalas pelukanku dengan menepu-nepuk pundakku.

Are you okay, Yah?”

Karena aku tidak terlalu percaya diri berbicara dalam Bahasa Inggris, aku hanya mengangguk. Dulu jika istriku mulai menggunakan Bahasa Inggris maka akan aku jawab dengan bahasa Jawa. Dan hal demikian sudah cukup untuk membuat kami tergelak bersama.

Lihat selengkapnya