Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #39

Kedatangan Ibu

Menjelang pagi, nafasku berangsur normal. Aku sempat berpikir, bahwa aku akan meninggalkan dunia beserta isinya tadi malam. Tapi ternyata aku masih di sini, melihat istriku yang tersenyum dalam lelahnya sambil menggenggam lenganku dengan buku-buku jemarinya yang terasa hangat. Perutnya yang tengah mengandung calon putri kami kian terlihat berat. Nampaknya sudah hampir waktu melahirkan.

Malam tadi IGD RSCK menjadi pelarianku untuk kedua kalinya. Ketika pagi datang, pihak rumah sakit memindahkanku ke ruang rawat inap. Lagi-lagi paviliun Rafael. Dinding paviliun ini terasa hening dan dingin seperti waktu itu. Ia adalah saksi bisu di mana isak tangis dan rapalan doa pasien pesakitan menelisip dan menetap ke dalam dindingnya. Mengingatkanku pada The Green Mile.

Kini aku tahu, penyakitku memasuki fase yang lebih kronis. Dengan hadirnya dentuman baru yang kian menghisap habis semangatku. Yang aku maksud sebagai dentuman baru itu adalah serangan sesak nafas yang begitu menakutkan di kala malam.

Waktu beranjak seperti dejavu. Istriku menyuapiku, dan kami mengobrol ringan seperti waktu itu. Sebelum aku merasa mengantuk dan menguap beberapa kali. Istriku pun ikut berbaring di bed tempatku. Karena ia juga merasa sangat lelah sejak semalam. Kami tidur berdampingan, berbagi bantal dan selimut. Tidur pagi bersama istriku saat itu adalah kebahagiaan besar, setidaknya ini waktu berharga kami tanpa merasa cemas dan sedih. Nafasku terasa ringan dan normal, bahkan aku bisa mencium aroma parfum istriku dengan samar. Dalam hitungan detik, ia sudah terlelap di dekatku. Jika direnungkan, mengantuk adalah pemberian besar dari Allah, karena dengan mengantuk, sejenak kami melupakan kenyataan yang begitu pahit.

Kami sama-sama terbangun saat matahari sudah meninggi. Dari jendela terlihat hari sedang cerah bernuansa kuning cahaya matahari. Istriku bersiap-siap hendak pulang, akulah yang memaksanya agar ia menyempatkan diri beristirahat di rumah. Karena menurutku istirahat di rumah sakit tidak sebaik dengan saat istirahat di rumah. Rumah sakit adalah salah satu tempat terburuk di dunia ini, tentu saja selain penjara.

“Kalau Ayah merasa ada yang aneh, segera telepon Bunda.” Kata istriku sambil mencium keningku.

“Iya, Bunda... Hati-hati di jalan ya.”

Setelah kepulangan istriku, tinggal diriku sendiri di paviliun Rafael.

Aku mulai menulis kisah hidupku di blog melalui Hp android. Dengan menulis, aku merasa bisa sedikit membagi perasaan. Link blog milikku lantas ku-copy dan menjadikannya story di Instagram. Banyak sekali teman-teman yang memberikan komentar positif serta doa agar aku bisa kembali sehat. Aku bersyukur bisa hidup dengan sikap positif selama ini, sehingga aku merasa tak seorangpun membenciku. Jika ada satu orang di dunia ini yang membenciku tanpa sebab yang jelas, maka orang itu adalah ayahku.

Selepas magrib, istriku datang beserta Mama mertua untuk menjagaku malam ini. Kami menonton tivi dan mengobrol ringan hingga menjelang pukul sepuluh. Saat itulah sesak nafas seperti tadi malam dimulai. Malam ini dia datang lebih cepat. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bisa bernafas, namun aku semakin tenggelam. Suasana kembali mencekam diiringi bunyi nafasku yang seperti siulan. Istriku tersedu, sementara Mama mertua bolak-balik memanggil dokter atau perawat agar segera melakukan penanganan. Oksigen dalam darahku turun drastis, kali ini di angka 75% sementara detak jantungku 165 permenit. Dokter jaga mengecek keadaanku, lalu perawatnya datang mengganti nasal kanul di hidungku dengan masker oksigen, ia juga menaikan dosis oksigen. Aku sudah tidak kuat. Mataku mendelik melihat langit-langit. Perasaan apa ini? Apa aku benar-benar akan mati? Detik demi detik bertambah mencekam. Istriku mengusap-usap dadaku dengan minyak kayu putih, bibirnya memandu nafasku sambil menuntunku beristigfar. Kapan semua ini berakhir? Apa aku harus terserang sesak nafas setiap malam?

Lihat selengkapnya