Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #41

Ke Jakarta

Sore harinya, beberapa jam setelah cuci darah. Dokter jaga melakukan visit dan memperbolehkan diriku pulang. Dokter jaga juga menerangkan, bahwa jadwal cuci darah selanjutnya adalah hari kamis. Aku cuma mengiyakan, dan tidak bakal datang. Karena mulai sekarang, aku akan beralih ke pengobatan non medis. Besok pagi-pagi, aku dan seluruh keluargaku akan bertolak ke Jakarta untuk bertemu dengan orang pintar. Ada rasa senang dalam lambungku, sebab penyakitku dikarenakan santet bukan benar-benar gagal ginjal stadium lima. Ada harapan aku sembuh total, karena santet bisa dilawan oleh orang pintar yang punya kekuatan supranatural. Dan aku juga tidak perlu berhadapan dengan jarum suntik medis yang menakutkan.

Ketika malam datang, seperti malam-malam yang sudah lewat. Aku kembali bersitegang dengan sesak nafas yang terus merongrong kewarasan. Istriku, Ibu, Mama mertua, Pakde, Tante, dan Intan tidak ada yang tidur malam itu. Semua orang disibukkan oleh sesak nafasku, bahkan Intan dan istriku sempat duakali bolak balik apotek untuk isi ulang oksigen. Malam ini, sesak nafasku berlangsung hampir lima jam, dan berangsur normal menjelang subuh. Kian hari, sesak nafas ini kian datang lebih cepat dan berlangsung semakin lama. Membuatku semakin khawatir tentang hidupku.

Setelah berjibaku melawan sesak nafas, aku akan merasa lelah dan mengantuk. Kemudian bisa terlelap dan memandang padang rumput luas berwarna kekuningan di dalam mimpiku.

Alarm Hp berbunyi setengah delapan pagi dan membangunkanku. Kulihat semua orang sedang bersiap. Istriku pun menolongku untuk bebersih diri dan bersiap-siap. Kami akan berangkat ke Jakarta.

Pakde yang sudah rapi duluan memanaskan mesin mobil di halaman sambil mengelus-elus kumis Anil Kapoor-nya yang kini mulai berwarna keperakan. Ketika aku masuk mobil, di dalam mobil terdengar lagu Berkacalah Jakarta yang dinyanyikan oleh Iwan Fals. Pakde sengaja memutar lagu itu, selain karena Iwan Fals adalah penyanyi idolanya, beliau juga seperti halnya Sonya yang selalu impulsif dengan hal-hal yang akan ia lakukan. Karena kami hendak ke Jakarta makanya lagu itu yang beliau putar. Aku hendak mengingatkan Pakde bahwa ini bukan tamasya, tapi tak enak hati, takut mengganggu antusiasnya. Ia memang belum pernah sama sekali melihat Jakarta, dan hari inilah waktu yang tepat.

Karena arus lalu lintas yang lancar, dalam sekejap mobil yang dikemudikan Pakde memasuki pintu Tol Padaleunyi. Pakde mengemudi dengan semangat tinggi karena ia ingin melihat ibu kota. Aku hanya terus memandu jalan dan menjawab pertanyaannya yang kadangkala terlalu impulsif seperti bocah belasan tahun.

“Padalarang itu berarti di sana apa-apa mahal dong, Pan?”

“Nggak juga, Pakde. Itu kan cuma nama tempat. Di Surabaya kan banyak yang lebih lucu lagi kayak Babe Jerawat, Pacar Keling, Duduk Sampeyan.”

Pakde bertanya demikian karena dalam bahasa Jawa, kata pada berarti sama, dan kata larang berarti mahal. Pakde mengartikan Padalarang sebagai sama mahal. Tapi meskipun suka berkomentar receh soal berbagai hal dan agak unik semacam itu, Pakde selama ini selalu baik dan senantiasa memberikan pertolongannya untuk ibu dan juga untukku. Beliau sudah seperti sosok ayah bagiku.

Melewati Cikampek jalan tol padat sekali. Aku menyuruh Pakde menepi agar aku saja yang mengemudi. Istri, Ibu, Tante, dan Mama mertuaku agak khawatir karena Pakde sesekali kurang mulus dalam mengemudi di saat padat. Aku merasa baik-baik saja, olehnya diizinkan mengemudi.

Berbekal aplikasi Google Maps, menjelang siang kami tiba di tujuan. Kami memasuki rumah sederhana yang berada di dalam gang. Mobil diparkir di tepi jalan yang agak besar, lalu sisanya kami harus berjalan kaki sejauh lima puluh meter memasuki sebuah gang. Ampun, hanya berjalan sejauh lima puluh meter saja rasanya aku sangat lelah. Sedrastis inikah penurunan kualitas fisikku?

Kami dipersilakan masuk oleh ibu-ibu yang merupakan istri orang pintar tersebut. Di rumahnya banyak terpajang tulisan-tulisan Arab dah foto-foto Syekh, di mana pengetahuanku sangat kurang dan tidak mengetahui siapa Syekh-Syekh tersebut. Dari rumahnya aku bisa menyimpulkan bahwa orang pintar kali ini semacam Kyai atau Ustadz. Sangat jauh dari yang kubayangkan, karena dari tadi aku membayangkan sosok John Coffey atau Ki Joko Bodho.

Lihat selengkapnya