Keluarga, Ideologi, dan Elegi

Dodi Spur
Chapter #42

Kelahiran Buah Hati

Sehari, dua hari, tiga hari, waktu berlalu. Tidak ada yang berubah. Setiap malam sesak nafas terus saja datang. Seakan mengikis kehidupanku sehingga hanya tersisa sepotong kecil.

Di pagi hari ke empat, kakiku benar-benar terlihat bengkak. Pagi itu, nafasku terasa normal, aku sempat keluar rumah untuk sedikit merapikan taman di depan rumah. Taman milikku sudah sangat berantakan karena semenjak aku sakit memang tidak ada yang mengurusnya. Anhar yang kebetulan melihatku memotong rumput segera menghampiri, ia hendak berangkat kerja.

“Sudah baikan, elu Pan?”

“Nggak ada yang berubah, Har. Pak Ustadz yang tempo hari kuceritakan juga….” Aku terhenti pada kalimatku, lalu menggeleng. Gelenganku dipahami oleh Anhar. Nihil adanya.

“Saran gue mending elu fokus berobat ke medis aja, Pan. Kemarin gue dapat info dari teman. Katanya ada rumah sakit herbal di Purwakarta. Mungkin elu bisa coba konsul[1] ke sana, kalau memang takut banget sama cuci darah.”

Sehari berselang, saat kondisi tubuhku kian terasa tak karu-karuan. Nafas terasa berat, ngilu-ngilu, dan persendian rasanya sakit semua. Anhar benar-benar mengantarku ke rumah sakit herbal di Purwakarta. Waktu itu ditemani istriku, ibu, dan Intan. Sementara Pakde dan Tante sudah balik ke Surabaya karena memang sudah agak lama ikut merawatku. Mereka harus kembali berjualan pakaian di pasar agar punya pemasukan.

Di perjalanan, tubuhku rasanya sudah sangat hancur lebur. Begitu sampai di rumah sakit herbal Purwakarta, seorang dokter lekas memeriksa. Dokter tersebut menggeleng sambil menatap mataku dengan tatapan serius. Seolah-olah ingin aku benar-benar memperhatikan perkataannya.

“Bapak harus kembali ke rumah sakit untuk cuci darah.” Kata dokter di hadapanku. Ia melanjutkan. “Pasien dengan diagnosa gagal ginjal kronis, satu-satunya terapi yang bisa dilakukan hanya cuci darah. Jalur herbal ini hanya bisa untuk pola diet makanan dan minuman saja.”

Seketika harapanku hancur. Aku kembali yakin bahwa yang sedang aku derita memang gagal ginjal kronis, bukan santet, bukan sakit non medis. Rasa putus asa dan penyesalan kembali menimbun secercah asa di kepalaku. Betapa aku sudah menghancurkan diri sendiri dengan telat cuci darah selama berhari-hari.

Saat perjalanan pulang dari Purwakarta, kondisi tubuhku sudah sangat tidak berdaya. Luar biasa lemas. Sampai di rumah sehabis magrib. Tiba-tiba sesak nafas datang dengan sangat cepat. Kali ini sesak nafas yang sangat luar biasa dari sebelum-sebelumnya. Masker oksigen yang kupakai waktu itu tidak ada gunanya, kadar oksigenku semakin cepat turun dan detak jantungku semakin cepat naik. Betapa racun sudah memenuhi tiap tetes dari darahku. Intan segera berlari untuk meminta pertolongan kepada Anhar. Tidak lama kemudian Anhar datang dan melihat kadar oksigen dalam darahku hanya 70%.

Istriku memutuskan untuk membawaku ke rumah sakit terdekat. Aku sudah sangat tersengal tidak bisa bernafas. Semua orang panik melihatku. Ibu dan istriku terus saja menangis. Anhar masih berusaha menuntun nafasku, tapi aku seakan sudah tidak bisa dituntun lagi. Oksigenku semakin turun mencapai 65%. Anhar segera berlari untuk menyiapkan mobil dan tergopoh memanggil tetangga agar turut serta membantu.

Tubuhku diangkat oleh Anhar dan Om Deden, tetangga samping rumah, dari ruang tamu menuju mobil karena aku tidak sanggup untuk bangkit. Di dalam mobil aku melihat kadar oksigenku semakin turun mencapai 60% dan detak jantungku mencapai 180 beat per menit. Kali ini aku benar-benar tidak kuat. Berkali-kali, aku meminta maaf dan berpamitan kepada ibu dan istriku.

Anhar berkelok menuju rumah sakit terdekat. Ia membuka kaca mobil dan seringkali membunyikan klakson. “Din… Din… Din…” Sementara Om Deden di sampingnya bertugas menyuruh pengguna jalan lain supaya mengalah karena keadaan darurat. Tidak lama kemudian kami sampai di rumah sakit terdekat.

Lihat selengkapnya