Asap tipis mengepul dari dandang besar yang diletakkan di atas tungku, menari pelan di udara sebelum hilang tak berbekas. Uapnya membentuk pola-pola yang memudar cepat, seperti harapan-harapan yang pernah kuat namun perlahan terurai oleh waktu. Marta berdiri diam di depan tungku, memperhatikan dengan seksama singkong-singkong yang sedang dikukus. Di balik kepulan uap yang terus keluar, wajahnya terlihat termenung, memantulkan pergulatan batin yang tengah ia hadapi.
"Proses ini seperti hidupku," pikir Marta, seraya mengusap peluh yang menetes dari dahinya. "Ditaruh dalam panas dan tekanan, diuji untuk melihat apakah aku akan lunak atau tetap keras."
Singkong yang dikukus itu bukan sekadar makanan. Bagi Marta, ia adalah cermin dari kehidupannya. Setiap butir uap yang keluar dari tungku seolah membawa sebagian dari dirinya, berubah perlahan-lahan dalam panasnya ujian hidup. Di sini, di dapur yang sederhana, ia tidak hanya mengamati proses memasak, tetapi juga merenungkan perjalanan hidupnya sendiri. Akankah ia berhasil melewati segala tekanan ini, atau justru hancur di tengah jalan?
Ia ingat bagaimana dulu kampung ini begitu tenang dan damai. Setiap orang bekerja keras, hidup dengan sederhana namun penuh makna. Sekarang, segala sesuatu tampak berubah. Uap panas yang keluar dari dandang itu mengingatkannya pada bagaimana kampungnya kini terjepit di antara tekanan modernisasi dan keinginan untuk mempertahankan tradisi.
Di samping Marta, duduklah Abah Semar, orang tua yang selama ini menjadi panutan bagi penduduk kampung. Wajahnya keriput oleh waktu, namun ada ketenangan yang terpancar dari sorot matanya. Dia mengawasi proses pengukusan dengan penuh perhatian, dan tanpa melihat ke arah Marta, dia mulai berbicara dengan nada suara yang tenang namun dalam maknanya.
"Mengukus singkong itu seperti menguji kesabaran kita, Marta," ujar Abah Semar. "Air mendidih dan uap panas itu ibarat masalah yang datang dalam hidup. Tapi kau lihat, singkong itu harus tetap ada di dalam uap sampai matang, sampai siap untuk dihidangkan."
Marta mendengarkan dengan serius, mencerna kata-kata Abah Semar yang sederhana namun penuh kebijaksanaan. Dalam setiap kalimat yang diucapkan, ada filosofi yang mendalam tentang kehidupan.
"Jadi, aku harus bertahan dalam semua ini, Bah? Meski rasanya begitu berat?" tanya Marta dengan suara yang rendah, seolah-olah sedang mencari konfirmasi atas keyakinannya sendiri.
Abah Semar tersenyum, senyum yang tulus namun juga penuh makna. "Tentu, Nak. Dunia tidak akan menjadi lebih mudah, tapi kita bisa menjadi lebih kuat. Seperti singkong yang kukuh saat dimasak, begitu juga kita harusnya tetap utuh meski dipanaskan oleh ujian."
Kata-kata itu menggema di pikiran Marta. Kesulitan yang dihadapinya selama ini, tantangan-tantangan yang menindih hatinya, tiba-tiba terasa lebih bisa dihadapi. Mungkin benar, seperti yang dikatakan Abah Semar, ujian hidup ini tidak datang untuk menghancurkannya, tapi untuk mengubahnya menjadi seseorang yang lebih kuat, lebih matang.
Sambil terus memperhatikan uap yang mengepul dari dandang besar, Marta mendengar langkah kaki yang mendekat. Abah Marjaya, lelaki tua yang bijak dan pernah menjadi petani singkong paling dihormati di kampung ini, datang mendekat. Ia menyandarkan tubuhnya yang sudah menua di tembok dapur, menatap singkong-singkong yang sedang dikukus dengan sorot mata yang dalam.
"Aku ingat, dulu, setiap keluarga di kampung ini mengandalkan singkong. Setiap potongan singkong adalah simbol ketahanan dan kerja keras kita," ucap Abah Marjaya, suaranya sedikit bergetar. "Tapi sekarang, orang-orang sudah lupa. Mereka yang dulu kuat seperti singkong, sekarang malah terpecah dan luluh di tengah gempuran modernisasi. Orang-orang ingin segalanya cepat, instan, tapi tidak semua bisa dipercepat tanpa kehilangan jati diri."
Marta diam, mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tahu, kata-kata Abah Marjaya bukan hanya tentang singkong yang sedang dimasak, tetapi juga tentang kampung ini dan orang-orangnya yang semakin berubah. Modernisasi yang datang seperti angin kencang telah membuat banyak orang di kampung meninggalkan cara hidup lama mereka. Mereka mencari cara yang lebih cepat dan mudah, namun sering kali melupakan nilai-nilai yang membuat mereka kuat dan teguh di masa lalu.
"Semua orang di sini sepertinya mengejar sesuatu yang cepat dan mudah, Bah. Tapi aku mulai merasa bahwa kita kehilangan sesuatu yang lebih dalam," jawab Marta, matanya masih terfokus pada dandang di depannya. "Aku tidak ingin menjadi bagian dari mereka yang menyerah begitu saja. Tapi aku juga tidak tahu bagaimana cara bertahan di tengah semua ini."
Abah Marjaya mengangguk pelan. "Kampung ini memang berubah, Marta. Ujian yang kita hadapi bukan hanya milikmu, tapi milik seluruh kampung ini. Orang-orang berpikir bahwa meninggalkan kampung dan mencari sesuatu yang baru akan menyelesaikan masalah mereka. Tapi mereka lupa bahwa ada kekuatan di dalam tradisi kita yang tidak boleh dilupakan."
Marta meresapi setiap kata yang diucapkan Abah Marjaya. Kata-kata itu mengingatkannya pada masa kecilnya, saat kampung ini penuh dengan suara tawa dan kehidupan. Orang-orang bekerja di ladang, menghasilkan singkong yang dijual di pasar, dan hidup dengan sederhana. Namun sekarang, semuanya terasa berbeda. Pasar yang dulu penuh dengan pedagang kecil kini lengang, dan mereka yang dulu kuat sekarang merasa terasing di dunia yang baru ini.
Setelah beberapa saat hening, Abah Semar yang duduk di sebelah Marta kembali berbicara. Suaranya tetap tenang, meskipun ada keseriusan yang tak bisa diabaikan.
"Marta," kata Abah Semar, "hidup ini tidak mudah, dan kita tidak bisa menghindari ujian. Seperti singkong yang harus dikukus dalam uap panas agar matang, begitu juga kita. Ujian ini datang bukan untuk menghancurkan kita, tetapi untuk membuat kita lebih kuat."
Marta menatap Abah Semar dengan penuh perhatian. Ia ingin percaya bahwa setiap ujian yang datang kepadanya memang memiliki tujuan, namun rasa takut dan keraguan masih menghantuinya. "Tapi bagaimana aku tahu, Bah, apakah aku akan keluar dari ini sebagai seseorang yang lebih kuat, atau justru hancur di tengah jalan?"
Abah Semar tersenyum kecil, penuh kebijaksanaan. "Itu adalah bagian dari ujian, Marta. Kita tidak selalu tahu apa yang akan terjadi. Tapi kita bisa memilih untuk tetap bertahan, meskipun rasanya berat. Seperti singkong itu, yang hanya akan matang jika tetap berada di dalam uap hingga waktunya tiba."
Kata-kata Abah Semar terngiang di kepala Marta. Ada kebenaran dalam setiap kalimatnya bahwa dalam hidup, kita tidak bisa lari dari tekanan, tetapi kita bisa memilih bagaimana menghadapi tekanan itu. Ujian hidup mungkin datang tanpa peringatan, tetapi yang penting adalah bagaimana kita meresponsnya. Singkong yang kuat adalah singkong yang tetap utuh meski berada di tengah uap panas, dan mungkin ia juga bisa belajar untuk tetap utuh di tengah tekanan yang ia hadapi.
Suara Abah Marjaya kembali memecah keheningan. Namun kali ini, nadanya lebih tajam, penuh dengan ketegasan yang mencerminkan pengamatannya terhadap perubahan yang terjadi di kampung.
"Lihatlah kampung ini, Marta. Orang-orang perlahan meninggalkan cara hidup lama mereka, berpikir bahwa modernisasi akan memberikan mereka semua yang mereka inginkan. Tapi mereka tidak sadar, ada harga yang harus dibayar untuk semua itu. Kehidupan kita dulu mungkin lambat, tapi penuh dengan makna. Sekarang, semuanya ingin serba cepat. Mereka yang dulu kuat seperti singkong, sekarang malah terpecah dan luluh di tengah gempuran modernisasi."
Marta mengangguk, merasakan beban dari kata-kata Abah Marjaya. Ia memahami bahwa masalah yang dihadapi bukan hanya tentang singkong atau dirinya sendiri, tetapi tentang keseluruhan kampung. Ujian ini bukan hanya milik individu, tetapi juga milik seluruh komunitas yang kini berada di persimpangan antara tradisi dan modernitas. Orang-orang di kampung ini tidak hanya diuji secara fisik, tetapi juga secara batiniah, menghadapi pilihan antara mempertahankan nilai-nilai lama atau menyerah pada tekanan zaman.