Marta berdiri di tepi Pasar Lama Tangerang yang telah banyak berubah. Kios-kios yang dulunya akrab kini tampak dingin dan asing. Pasar itu seperti lanskap baru, diisi oleh wajah-wajah yang bergerak cepat, berlarian di antara barang dagangan yang ditata rapi tapi tanpa kehidupan. Angin pagi yang segar membawa aroma tanah basah bercampur asap dari gerobak-gerobak pedagang kecil yang masih setia di sudut-sudut pasar, bertahan di tengah arus modernisasi yang mengalir tanpa henti. Namun, ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang membuat hati Marta tersesat di tengah hiruk pikuk ini.
“Pasar ini seperti lagu lama yang diputar dalam tempo yang lebih cepat,” gumam Marta pada dirinya sendiri. Mata tajamnya menelusuri deretan kios yang kini lebih mewah, dengan papan nama mencolok dan rak-rak yang penuh dengan barang-barang modern. Dulu, di sini ada sapaan hangat setiap kali ia lewat, senyum akrab yang mengiringi setiap langkah. Kini, hanya ada tatapan dingin, mata yang mencurigai, seolah-olah setiap orang adalah pesaing yang harus diwaspadai.
Ritme pasar berubah, pikirnya. Bukan lagi serasi dengan napas desa yang sabar dan tenang, tapi seperti detak jantung yang dipacu oleh kebutuhan untuk bertahan hidup di tengah perubahan. Ada sebuah jurang tak terlihat yang memisahkan Marta dari orang-orang di sekitarnya. Ia merasakan jarak itu semakin melebar, menciptakan rasa keterasingan yang tak mampu ia pahami. “Apakah aku yang berubah, atau pasar ini yang berubah?” tanya Marta dalam hatinya.
Pasar ini dulu adalah tempat di mana tawa dan sapaan ramah bersahutan. Sekarang, suasana itu berganti menjadi dingin dan penuh rahasia. Marta menghela napas, memandangi kios-kios yang tampak seperti berdiri di atas pondasi ketidakpastian, siap runtuh kapan saja. Ada sesuatu yang lebih besar dari perubahan fisik yang ia saksikan perubahan di dalam jiwa orang-orang yang bertransaksi di sini.
Marta mendekati kios tua yang masih bertahan di sudut pasar. Kios itu dikelola oleh Pak Rusdi, seorang pedagang yang sudah dikenalnya sejak kecil. Kios Pak Rusdi tak pernah berubah tampak usang tapi kokoh, bertahan melawan waktu dan arus yang berusaha menghanyutkannya. Di dalam kios itu, Marta selalu merasa ada kehangatan yang tetap terjaga di tengah segala perubahan di luar sana.
“Pasar ini berubah, Marta,” kata Pak Rusdi dengan suara parau, sembari membetulkan letak sarungnya yang melorot. “Sekarang ada banyak yang tak kasat mata di sini. Orang-orang datang dengan niat tersembunyi, dan kau tahu? Mitos tentang pedagang besar yang menggunakan ilmu hitam semakin kencang terdengar.”
Marta mengerutkan kening, merasa tak percaya. “Apakah mungkin, Pak? Mitos seperti itu benar-benar ada di zaman sekarang?”
Pak Rusdi tertawa pendek, sebuah tawa yang lebih menyerupai desahan letih. “Mungkin bukan soal benar atau tidaknya, Nak. Mitos ada karena ada ketakutan. Dan di pasar ini, ketakutan adalah mata uang baru. Dalam ketakutan, orang bisa percaya apa saja, bahkan yang paling tak masuk akal sekalipun.”
Marta terdiam. Ia memandang Pak Rusdi dengan penuh tanda tanya. Di tengah modernisasi yang merangsek masuk ke kampungnya, bagaimana bisa mitos seperti itu bertahan? “Apakah ketakutan itu lebih kuat dari kenyataan?” tanya Marta, mencoba memahami lebih dalam.
Pak Rusdi menghela napas panjang, “Ketakutan itu lebih nyata dari kenyataan itu sendiri, Marta. Ia tak terlihat, tapi dampaknya bisa menghancurkan segala yang kita bangun dengan susah payah. Orang-orang yang dulunya percaya pada kerja keras, kini lebih percaya pada bisikan tentang kekuatan gaib yang bisa mendatangkan keuntungan instan.”
Kata-kata Pak Rusdi menggantung di udara, memberikan berat baru pada apa yang Marta rasakan tentang perubahan di pasar. Bukan hanya perubahan fisik yang harus ia hadapi, tapi juga ketakutan yang merasuk dalam diri setiap orang yang ada di sekitarnya.
Setelah berbincang dengan Pak Rusdi, Marta melanjutkan langkahnya menyusuri pasar yang kian padat. Suara-suara samar mulai terdengar di antara kerumunan, bisikan-bisikan yang semakin kencang ketika ia melewati sekumpulan pedagang muda. Mereka sedang asyik berbincang, tidak menyadari kehadirannya. Pembicaraan mereka tentang pasar yang penuh intrik membuat hati Marta gelisah.
“Sudah dengar kabar soal Pak Dulah?” bisik seorang pedagang kepada temannya. “Katanya dia mendadak kaya setelah berbisik pada seseorang di ujung kota. Ada yang bilang dia pakai ilmu hitam.”
Temannya hanya mengangguk setuju, sambil sesekali melihat ke sekeliling, seakan takut ada yang menguping. “Iya, aku dengar juga. Sekarang dia bisa jualan apa saja, dan selalu laris. Kita yang seperti ini cuma bisa pasrah. Kalau tak pakai jalan cepat seperti mereka, kapan bisa maju?”
Marta berhenti sejenak, mendengarkan dengan hati yang semakin berat. Kabar tentang pedagang yang menggunakan cara-cara tak lazim untuk meraih kekayaan semakin menyebar. Seperti virus, desas-desus itu menyebar dan mempengaruhi pikiran orang-orang. Mereka yang dulu hidup dengan keyakinan akan kerja keras kini tergoda untuk mencari jalan pintas, jalan yang dianggap lebih cepat menuju kesuksesan. Keberanian mereka untuk berjuang tampak goyah, digantikan oleh ketakutan dan ketidakpercayaan.
“Pasar ini sudah tak sama lagi,” pikir Marta. Ia melihat bahwa modernisasi membawa perubahan, tetapi perubahan itu datang bersama ketidakadilan. Pedagang kecil yang dulunya gigih berjuang kini merasa kalah sebelum bertarung, tersingkirkan oleh bayang-bayang ketakutan yang mereka ciptakan sendiri. Desas-desus tentang ‘jalan cepat’ menggerogoti moral dan semangat komunitas yang pernah begitu solid.
Ia berjalan perlahan menuju pusat pasar, menelusuri jalan-jalan yang penuh dengan kios-kios besar dan megah. Setiap langkahnya terasa lebih berat, seolah-olah bebannya bertambah seiring dengan realitas baru yang terbentang di hadapannya. Orang-orang sekarang lebih banyak mengandalkan mitos ketimbang usaha, dan itu merusak semangat kolektif yang dulu menjaga keseimbangan pasar ini.
“Pasar ini penuh ketakutan,” pikir Marta, “ketakutan yang menciptakan ketidakadilan.”
Setelah berkeliling, Marta merasa dorongan untuk kembali berbicara dengan seseorang yang bisa memberikan sudut pandang lebih bijaksana. Ia memutuskan untuk kembali menemui Pak Rusdi. Kios Pak Rusdi, yang tampak tua namun masih bertahan, kini tampak seperti satu-satunya sudut yang masih memancarkan kehangatan di tengah pasar yang dingin.
“Pak,” kata Marta sambil mendekat, “bisakah kita bicara lagi tentang perubahan yang terjadi di pasar ini? Apa yang Bapak lihat dari semua ini?”
Pak Rusdi yang sedang menganyam bakul bambu, berhenti sejenak dan menatap Marta dengan tatapan dalam. “Marta, perubahan ini tidak bisa kita hindari. Pasar ini, desa ini, semuanya berubah seiring waktu. Tapi yang perlu kita tanyakan adalah, bagaimana kita menyikapi perubahan itu?”
Marta duduk di bangku kecil di depan kios, mendengarkan dengan penuh perhatian. Pak Rusdi melanjutkan, “Orang-orang di sini, mereka takut pada perubahan. Mereka takut kalah, takut tersingkir, dan ketakutan itu membuat mereka mencari cara-cara yang tidak semestinya. Mitos, desas-desus, itu hanyalah cermin dari ketakutan mereka sendiri. Kau tahu, ketakutan bisa mengubah cara seseorang berpikir dan bertindak.”
“Tapi, Pak, apakah ketakutan itu benar-benar sekuat itu?” tanya Marta. “Apakah ia bisa begitu besar sampai membuat orang-orang melupakan segala hal yang pernah mereka percayai?”
Pak Rusdi menghela napas panjang, suaranya terdengar semakin berat. “Ketakutan adalah musuh yang tak terlihat, Marta. Ia datang dalam bentuk yang berbeda-beda, kadang berupa desas-desus, kadang berupa keraguan di dalam hati. Dan ia merusak dari dalam, membuat orang-orang kehilangan keyakinan pada diri mereka sendiri.”
Marta terdiam. Kata-kata Pak Rusdi menggema dalam benaknya. Pasar yang dulu dipenuhi tawa dan canda, kini penuh dengan ketakutan yang tak terlihat. Desas-desus tentang pedagang besar yang menggunakan cara-cara mistik hanya sebagian kecil dari realitas yang lebih besar realitas di mana ketakutan menguasai pikiran dan mengubah cara orang bertindak. Marta menyadari bahwa tantangan terbesar bukanlah modernisasi itu sendiri, melainkan cara masyarakat meresponsnya.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan, Pak? Bagaimana kita bisa bertahan di tengah perubahan ini?”
Pak Rusdi tersenyum lelah, seolah-olah pertanyaan itu telah lama ia tanyakan pada dirinya sendiri. “Yang bisa kita lakukan, Nak, adalah bertahan dengan cara kita. Jangan biarkan ketakutan itu merusak hati dan pikiranmu. Tetaplah percaya pada kerja keras, pada niat baik. Itulah yang bisa kita lakukan, dan itulah yang akan membuat kita tetap berdiri, bahkan di tengah badai perubahan.”
Marta meninggalkan kios Pak Rusdi dengan banyak pikiran menggelayut di benaknya. Pasar yang dulu menjadi tumpuan hidup warga desa kini terasa semakin berat dan penuh intrik. Desas-desus tentang pedagang besar, ketakutan yang menguasai pikiran masyarakat, dan kenyataan bahwa modernisasi telah mengubah dinamika kehidupan di desa semua hal itu membuat Marta merasa dirinya berada di persimpangan. Ia harus memilih bagaimana menyikapi dunia yang terus berubah ini.
Di tengah perjalanan pulang, Marta berhenti sejenak di bawah pohon beringin tua di tepi pasar. Ia memandang ke arah deretan kios yang mulai tutup satu per satu. Senja mulai turun, menandai akhir dari hari yang panjang dan melelahkan. Namun, di benaknya, hari ini hanya permulaan dari pertempuran batin yang lebih besar.