Malam di Tangerang itu begitu tenang, terlalu tenang. Di luar, angin berbisik pelan, menghembuskan aroma tanah basah yang baru saja terkena hujan. Di dalam rumah, Marta duduk sendirian di ruang tamu. Udara malam yang sejuk seharusnya membawa kenyamanan, tapi tak ada yang benar-benar tenang di dalam dirinya. Pandangannya tertuju pada secangkir teh yang sudah dingin di atas meja, laporan bisnis yang menumpuk di sebelahnya, dan kontrak-kontrak baru yang belum ia tandatangani.
Semuanya tampak baik-baik saja di atas kertas. Bisnisnya berkembang pesat, pabrik tekstil yang ia kelola menghasilkan keuntungan yang terus meningkat, dan ia telah berhasil memberi keluarganya kehidupan yang jauh lebih baik daripada yang pernah mereka impikan. Namun, di tengah kesuksesan itu, ada sesuatu yang hilang. Sebuah kekosongan yang makin hari makin besar di dalam dirinya, seolah-olah ia telah kehilangan arah di tengah hiruk-pikuk kesuksesannya.
Marta mencoba menepis perasaan itu. Dia terlalu sibuk untuk memikirkan hal-hal semacam itu. Bagaimanapun juga, ini adalah kehidupan yang selalu ia impikan. Tapi semakin ia menekankan dirinya untuk maju, semakin perasaan gelisah itu mengakar. Ada yang tidak beres, namun apa yang salah tidak jelas. Semakin lama perasaan itu menekannya, semakin kuat rasa kehilangan yang dia rasakan.
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu memecah keheningan. Jam di dinding menunjukkan hampir tengah malam. Siapa yang akan datang pada jam seperti ini? Marta bangkit dari tempat duduknya, jantungnya berdebar kencang, tanpa alasan yang jelas. Ada sesuatu yang aneh di udara, seolah-olah ia tahu ada sesuatu yang penting akan terjadi.
Dia berjalan ke pintu dengan perasaan campur aduk. Ketika pintu itu terbuka, seolah waktu berhenti sejenak. Di ambang pintu berdiri sosok yang tak mungkin ada di sana Abah Semar.
Marta tertegun. Tubuhnya menegang, mulutnya membuka tanpa suara. Di depannya berdiri kakeknya yang telah lama tiada. Wajah tua dengan kerutan yang familiar, senyuman tipis penuh kebijaksanaan yang selalu menenangkan hati Marta di masa kecil. Tapi bagaimana mungkin? Kakeknya sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu.
“Abah…?” suaranya hampir tak terdengar, bergetar karena syok dan ketidakpercayaan.
Abah Semar tersenyum lembut, senyum yang sama seperti yang selalu Marta ingat. “Waktunya kembali ke rumah, Nak,” kata Abah Semar dengan suara tenang dan penuh makna. “Ada sesuatu yang harus kau selesaikan.”
Kata-kata itu menghantam Marta seperti angin dingin. Hatinya berdesir tak menentu. Sesuatu yang belum terselesaikan? Apa yang belum ia selesaikan? Selama ini, ia selalu berpikir bahwa ia telah melakukan semua yang bisa ia lakukan. Ia telah membangun bisnisnya, memperbaiki nasib keluarganya, mengangkat mereka dari kemiskinan. Lalu apa lagi yang harus ia selesaikan?
“Abah… aku tidak mengerti,” kata Marta dengan suara yang lemah. Ia merasa seperti anak kecil lagi di hadapan sosok kakeknya. “Apa yang harus kuselesaikan? Aku sudah melakukan yang terbaik. Aku sudah bekerja keras untuk keluargaku…”
Abah Semar menggeleng pelan, masih dengan senyum yang sama. “Kau belum selesai, Nak. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar bekerja keras dan mengumpulkan kekayaan. Kau sudah melupakan akarmu. Kau lupa dari mana kau berasal.”
Marta merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Apa maksud Abah? Apa yang aku lupakan?”