"Hidup, seperti jamur yang tumbuh dalam kegelapan, tidak pernah membutuhkan cahaya untuk bertahan hidup." Kata-kata itu terus bergema di benak Marta, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Setiap kali dia mendengar suara gemerisik kayu di kompor, atau mencium aroma singkong yang dipanggang di bara, dia teringat kata-kata Abah Semar, kakeknya. Seolah-olah kata-kata itu ditanamkan dalam dirinya, seperti akar yang tumbuh di tanah, mencari sumber kehidupan di bawah permukaan yang tak terlihat.
Marta duduk di ujung kursi kayu kecil di dapur tua keluarganya. Kompor kayu yang selalu menyala di dapur adalah simbol kehidupan mereka yang selalu ada, selalu berfungsi, tidak pernah padam kecuali ketika hari benar-benar berakhir. Di luar, angin sore bertiup lembut dari jendela kecil, membawa serta suara kehidupan dari ladang dan jalan-jalan desa yang perlahan-lahan berubah. Tapi di sini, di tengah dapur yang hangat, semuanya terasa tenang. Setidaknya, itulah yang ingin diyakini Marta.
Asap tipis yang naik dari tungku membentuk pola acak di udara, seperti pikiran yang melintas di kepala Martha, terbang dan kemudian menghilang sebelum dia sempat menangkapnya. Dalam asap, Marta melihat masa depan yang tidak pasti, masa depan yang jauh dari kehidupan sederhana yang dia jalani di desa ini. Dalam asap, juga, ada kenangan yang tidak bisa dia lupakan tentang keluarganya, tentang tanah ini, tentang sesuatu yang tidak pernah dia pahami sepenuhnya.
"Apakah aku seperti singkong ini?" gumamnya pelan, memegang sepotong singkong panggang sempurna. "Bagian luar, rapuh di dalam."
Marta merasa seperti seseorang yang terjebak di antara dua dunia. Dunia desa dengan segala tradisi dan rutinitas yang telah tertanam dalam darahnya, dan dunia modern yang terkesan semakin mendesak, semakin dekat dengan setiap pabrik yang dibangun di pinggiran desanya. Tangerang pada tahun 1965 tidak lagi seperti Tangerang yang dia kenal. Pabrik yang menjulang tinggi, sawah yang dulunya subur kini berubah menjadi ladang beton, dan suara mesin yang menderu perlahan menghapus suara alam yang pernah mendominasi.
"Apa yang akan kita lakukan nanti, Bah?" tanya Marta suatu hari kepada Abah Semar, saat mereka duduk di depan tungku yang sama. Abah Semar, dengan rambut putihnya yang langka dan tubuh yang semakin bungkuk, menatap ke arah api dengan mata yang tampak penuh dengan beban masa lalu.
"Kami melakukan apa yang harus kami lakukan, Nak. Kami selamat," jawab Abah Semar tanpa menoleh. "Seperti jamur di hutan yang tumbuh di antara daun-daun yang membusuk, kita akan terus hidup. Tapi, seperti jamur, kita tidak bisa bertahan hidup di tempat mereka mati."
Kata-kata itu melekat di hati Martha, meskipun dia tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud kakeknya. Namun, dia tahu bahwa Abah Semar, seperti banyak orang tua lain di desa ini, adalah generasi terakhir yang benar-benar memahami makna hidup dari tanah. Mereka yang pernah hidup dalam kemakmuran, mengolah tanah dengan tangan mereka sendiri, sekarang mulai kehilangan pijakan mereka karena perubahan dunia di sekitar mereka.
Setiap hari, Marta terbangun dengan suara samar ayam berkokok dari luar rumah. Ibunya sudah berada di dapur, menyiapkan singkong untuk dipanggang. Tinggal di desa ini terasa seperti ritme yang tetap berulang, tetapi tetap stabil. Namun, di tengah kesederhanaan itu, Marta mulai merasa ada sesuatu yang mulai berubah di dalam dirinya. Kecemasan bahwa dia tidak tahu dari mana asalnya. Dia terjebak dalam rutinitas, tetapi hatinya menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas.
Desa mereka adalah tempat yang penuh kenangan. Setiap pagi, Marta berjalan di jalan setapak ke taman kecil keluarganya, yang terletak di dekat perbukitan hijau. Pohon-pohon singkong berbaris rapi di taman, dan setiap kali dia mencabut akar singkong dari tanah, ada perasaan yang tak bisa dijelaskan bahwa hidupnya tertanam di sini, di akar yang tertanam kuat di bumi. Namun, pada saat yang sama, ada perasaan lain yang terus menghantuinya seolah-olah akarnya juga menariknya ke bawah, menahannya dari sesuatu yang lebih besar, lebih luas, yang mungkin menunggunya di luar sana.