Marta berdiri di tepi ladang singkong yang tersisa, menatap hamparan hijau yang kini hanya sebatas bayangan dari masa lalu. Ladang itu, yang dulu melambangkan kehidupan, kini tak lagi mampu berbisik lembut seperti dulu. Namun, di dalam hati Marta, ada rasa yang lebih besar daripada kehilangan sebuah rasa bangga karena dia telah menjaga warisan keluarganya hingga akhir.
Desa ini sudah tak lagi sama. Pabrik-pabrik telah menyebar ke segala penjuru, menguasai tanah-tanah yang dulu subur dan hijau. Rumah-rumah tradisional berganti rupa menjadi bangunan batu yang tak pernah tidur, sementara suara mesin menggantikan irama alam yang dulu menjadi teman setiap harinya. Marta kini tahu bahwa perubahan ini tidak bisa dihentikan, seperti halnya musim yang datang dan pergi.
Dia mengingatkan dirinya akan kata-kata Abah Semar, sosok yang kini hanya tinggal dalam kenangan namun tetap hidup dalam setiap keputusan yang diambilnya. "Hidup ini bukan soal seberapa besar yang kita raih, Nak, tapi seberapa baik kita menjaga api yang telah diberikan pada kita." Kata-kata itu terus terngiang di benaknya, menjadi penyemangat dalam saat-saat ia merasa sendirian.