Diseberang jalan sana terlihat seorang Bapak tengah menyuapi ice cream dua orang anaknya. Yang setiap suapan selalu dibalas dengan senyuman ceria. Hanya satu cup ice cream yang dibagi dua, tapi kebahagian yang terpancar dari kedua bocah itu seolah mendapatkan satu truck ice cream. Matanya berbinar terang, bibirnya tersenyum lebar.
Sesekali terdengar gelak tawa dari ketiganya karena lelucon sang Bapak. Menirukan gaya monyet dan beberapa hewan lainnya yang tak kumengerti.
Tes.. Tes..
Tak terasa dua butir air mata menetes pelan pada sudut mataku, mengenai pipi yang membuat lamunanku buyar. Belum sempat aku hapus, ternyata Nindi sudah melihatnya.
"Kebiasaan, deh"
Aku buru-buru mengelapnya dengan ujung kerudung. Nindi langsung menyapu pemandangan sekitar, seperti biasa dia akan mencari sumber yang membuatku menangis lalu meledek.
"Gue tebak lo nangis gara-gara liat itu" ucapnya sambil memonyongkan bibir ke arah Bapak dan kedua anaknya tadi.
Nindi adalah satu-satunya teman terdekat yang kupunya. Rumahnya tepat disebelah rumahku, dari TK sampai SMA kita selalu satu kelas. Bahkan meskipun sekarang kita berbeda tempat kerja, aku yang ngajar di Madrasah dan dia yang bekerja sebagai Barista disalah satu cafe terkenal dikota ini, kita tetap berteman sangat baik.
Aku memang mudah terharu jika melihat pemandangan harmonis sebuah keluarga. Melihat salah satu teman kerjaku diantar oleh Ayahnya kemudian salim dan diusap puncak kepalanya saja sudah berhasil membuatku berkaca-kaca. Mungkin karena aku tak pernah merasakannya yang
Brukk!!
"Saya kan udah bilang! Ga usah baca buku-buku kayak gini!" bentak Gus Adam yang tiba-tiba sudah berdiri didepanku sambil membanting novel ke lantai.