Seorang kurir pembawa surat dari Quba menemui Ali bin Abi Thalib yang tetap tinggal di Mekkah selepas malam terkutuk; sebuah malam dimana para pemuka suku kafir Quraisy merencanakannya sebagai malam pembantaian Muhammad Rasulullah SAW. Mereka mengirim Khalid putra al-Walid pemimpin suku Makhzum bersama para jawara suku lainnya menjalankan rencana serangan malam itu. Namun ketika mereka menyerbu masuk, hanya ada Ali di atas pembaringan Nabi, mengenakan kain selimut warna hijau milik Nabi, sehingga Khalid dan pasukannya tidak menyadari telah dikelabui.[1]
Mekkah gempar. Para pemimpin kafir bersatu padu, sekali lagi, mengirim satuan lagonder yang secepatnya melakukan pengejaran. Mereka benar-benar kesal karena sangat yakin, bahwa skema pembunuhan yang telah dirancang sempurna di aula Darun Nadwah itu, menurut mereka tidak mungkin gagal. Mereka telah mengawasi keberadaan Nabi sejak lama, sangat berhati-hati dalam setiap intrik dan misi penghancuran total. Mereka sangat faham Muhammad bukanlah target yang mudah, berdasarkan pengalaman mereka dari sekian aksi penyerangan guna melemahkan perjuangan Nabi dalam rentang waktu tigabelas tahun.
Sesungguhnya kafir Quraisy telah mencapai puncak kegilaan ketika pahitnya kegagalan yang terus-menerus mendorong mereka bersekutu di dalam kekejian. Mereka – tak kurang dari empatpuluh kepala suku - bahkan telah siap menanggung akibatnya bersama-sama jika Bani Hasyim menuntut balas. Seakan banteng mengamuk, nafsu angkara membuat mereka kehilangan akal sehingga melewatkan satu hal yang sangat prinsip: Muhammad adalah utusan Allah, dan Tuhan Muhammad tidak akan membiarkan kaum kafir memenangkan pertempuran.
Pada akhirnya, pengejaran yang tanpa hasil itu benar-benar melelahkan kaum kafir Quraisy. Para pemukanya sangat frustasi, sekaligus sangat cemas. Mereka berupaya keras menghalangi Nabi SAW meninggalkan Mekkah dan bergabung dengan orang-orang Yatsrib yang telah berbai’at dan menerima sang Baginda sebagai pemimpin sejati mereka. Tak pelak, para pemuka kafir Quraisy memandang “fenomena Yatsrib” sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan status quo mereka yang diwarnai kejahatan dan kebrutalan; membunuh, menyiksa, dan merampas hak kaum Muslim selama bertahun-tahun. Seakan-akan merekalah penguasa dunia yang boleh melakukan kesewenang-wenangan tanpa hukuman. Lalu keadaan berbalik dan berubah pelik, mereka kehabisan cara dan sumberdaya. Hal terakhir yang terpaksa mereka lakukan adalah menunjukkan ketidakmampuan mereka dengan melibatkan para penjahat dan pembunuh bayaran di seluruh penjuru Hijaz melalui sebuah sayembara: “Disediakan seratus ekor unta, bagi siapa saja yang berhasil menangkap Muhammad bin Abdullah.”
[1] 26 Safar SH 1 (17 Juni 622M).