Demikianlah Abu Waqid Laitsi[1] tiba di hadapan Ali bin Abi Thalib lalu menyerahkan surat Rasulullah SAW kepadanya, yang berisi perintah supaya dia dan “Para Fatimah” segera menyusul ke Quba bersama Abu Waqid sang kurir yang sekaligus bertanggung jawab memandu jalan. Tanpa membuang waktu, Ali bergegas mengerjakankan perintah mengenai amanah-amanah yang dahulu dititipkan kepada Rasulullah SAW supaya diserahkan kembali pada pemiliknya. Ia bersegera pula menyiapkan bekal perjalanan dan membeli beberapa unta yang diperlukan. Secara rahasia Ali mengumpulkan kalangan tertindas yang terus diburu dan menjadi target kekerasan kaum kafir, yang dikarenakan satu dan lain hal belum dapat melaksanakan perintah hijrah ke Yatsrib. Kepada mereka Ali menyampaikan berita yang datang dari Quba: “Rasulullah SAW telah menunggu kita di Quba. Pergilah diam-diam, jangan menarik perhatian, dan bergegaslah melanjutkan perjalanan jika malam telah menyelimuti lembah-lembah sampai ke Syam.”
Pada hari sebelum keberangkatan, Ali naik ke atap Ka’bah, berdiri di sana terakhir kalinya. Ia lalu memanggil dengan suara lantang: “Wahai manusia, adakah yang pernah menitipkan amanah? Adakah yang pernah memberi wasiat? Adakah yang pernah menitipkan barang dagangan atau perkakas pada Rasulullah?”
Orang-orang yang lalu-lalang di sekitar Ka’bah hanya melihat saat sejumlah orang berhenti dan berbicara mengutarakan keperluannya. Di samping unta pengangkut barang, Ali melayani orang-orang, memberikan hak mereka setelah mencocokannya dengan catatan dari Quba. Terlepas dari persoalan agama, orang-orang Mekkah tidak pernah meragukan kejujuran Rasulullah; seorang yang lurus, salih, dan setia pada janji. Tak sekalipun Nabi SAW mengecewakan orang yang menitipkan amanah sehingga orang-orang lebih suka menyerahkan urusan mereka kepada beliau daripada kepada pihak lain.
Ali masih menunggu sampai benar-benar yakin semua orang telah menyelesaikan urusan mereka dengan Rasulullah melalui dirinya. Cinta dan bakti pemuda itu kepada Rasulullah sedemikian hebatnya sehingga ia bersumpah pada dirinya sendiri untuk melaksanakan tugas seteliti mungkin dan paripurna, mengantisipasi setiap kemungkinan supaya tak tersisa celah yang dapat digunakan musuh untuk tujuan-tujuan buruk.
Sebelum beranjak dari sisi Ka’bah, sejenak Ali mengedarkan pandangan ke seluruh kawasan tanah suci yang dipenuhi kenangan manis dan pahit. Manakala pandangannya tertuju pada Hajar Aswad, terkenanglah ia akan kisah legenda yang dituturkan orang-orang mengenai al-Amin “yang terpercaya” dan masih melekat pada diri sang Baginda meski beliau tak lagi bermukim di kota Mekkah.
[1] Harits bin ‘Auf. Waqid adalah nama anak laki-lakinya, karena itu orang-orang memanggilnya Abu Waqid, sedang al-Laitsi adalah nama sukunya (salah satu klan keturunan Kinanah/Bani Kinanah). Ia termasuk dari kalangan sahabat Nabi SAW yang cukup terkenal dan banyak meriwayatkan hadis.