Siang di musim panas itu, ketika penduduk kota menghindari cuaca menyengat – suhunya bisa mencapai lebih dari 45 derajat celcius - dengan mendekam di dalam rumah dan kaum elit kaya raya menikmati kesejukan puncak Thaif di rumah-rumah peristirahatan mereka, Ali justru memanfaatkan kelengangan ini untuk mengawal rombongan Fatimah az-Zahra yang terdiri dari Fatimah binti Assad bin Hasyimi[1], Fatimah binti Zubair bin Abdul Muthallib, Fatimah binti Hamzah bin Abdul Muthallib, serta pelayan Rasulullah SAW yang bernama Barakah. Anak lelaki Barakah, Aiman, juga turut dalam rombongan kecil tersebut. Seluruhnya berjumlah delapan orang. Tiga orang laki-laki, dan lima orang perempuan.
Meski Mekkah terlihat bagaikan kota mati sepanjang musim panas yang menggila dari bulan Juni sampai Oktober, mereka tetap waspada karena menyadari situasi berbahaya yang dapat mengancam kapan saja. Secara alami mereka saling merendahkan suara saat berbicara, seakan takut ada yang menguping. Selain Ali, mereka berusaha keras menyamarkan kegugupan dengan diam seribu bahasa, tidak menoleh, atau melihat ke belakang. Sangat hening, tenang, dan tidak mencolok. Pemandu jalan mereka bersikap sangat hati-hati dengan menghindari ruas jalan utama seraya terus bergerak menjauhi kota, yang terasa sangat panjang karena mengkhawatirkan banyak hal, seperti kemungkinan berpapasan dengan orang-orang dari pihak musuh.
Siapapun tahu betapa kerasnya perlakuan kafir Quraisy kepada pihak Muslimin yang tertangkap; sebuah fakta mengerikan sehingga memikirkannya saja sudah membuat orang ketakutan, sebagaimana yang dirasakan Abu Waqid. Manakala kafilah kecil itu berhasil keluar meninggalkan kota, sahabat Nabi dari suku Laitsi tersebut lantas berjalan cepat-cepat sambil menuntun tali kendali unta-unta yang ditunggangi para Fatimah. Ingatan akan kekejaman para kafir Quraisy menyisakan kepanikan luar biasa di dalam hati Abu Waqid. Ia begitu khawatir para pemuka musyrik mengirim pasukan pemburu untuk menggagalkan perjalanan putri Rasulullah SAW. Ia tak ingin mengecewakan Rasulullah, juga tak ingin kehilangan nyawa demi putranya yang masih kecil. Langkah kakinya lebar-lebar dan semakin cepat, nyaris berlari. Ia tak peduli terik matahari yang membakar ubun-ubun atau pasir gurun yang membara di bawah telapak kakinya. Satu hal saja yang ia pikirkan, rombongan putri Rasulullah aman dari gangguan musuh dan tiba dengan selamat di Quba.
[1] Ibunda Ali bin Abi Thalib, merupakan putri dari Assad bin Hasyim; hal ini menjadikan Ali keturunan Hasyim bin Abd al-Manaf dari kedua sisi ayah dan ibu.