Fatimah binti Assad menghampiri putranya dengan segenap keharuan. Air mata suka cita bercucuran membasahi wajah sepuhnya yang anggun. Siapa yang tak kan menangis setelah terbebas dari ancaman kekerasan dan kematian yang paling menghinakan andaikan Ali berada di pihak yang kalah dan mereka jatuh ke tangan musuh?
Az-Zahra menyeka sudut matanya yang basah. Ia teringat kaum Muhajirin dan penderitaan mereka dalam perjalanan hijrah manakala tertangkap musuh. Banyak dari mereka yang tertangkap tidak memiliki seseorang seperti Ali bin Abi Thalib, yang siap membela meski harus bertaruh nyawa. Karakter Ali yang terpuji, saleh, dan pemberani, tak lain adalah hasil didikan dan gemblengan Rasulullah SAW sejak Ali masih kanak-kanak; bahwa Ali telah dipersiapkan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa besar, penuh resiko, dan berbahaya di kemudian hari. Seperti di malam pembantaian, dan kini, bertarung sendirian melawan satuan lagonder kafir Quraisy.
Sebelum gelap mereka tiba di Dajnan, lalu mendirikan kemah untuk para perempuan. Sewaktu di Mekkah Ali dan Abu Waqid telah mengatur rencana perjalanan, dan menetapkan kawasan tersebut sebagai titik kumpul. “Kita menunggu orang-orang di sini,” kata Ali kepada keluarganya.
Hari itu mereka bermalam di Dajnan, menunggu rombongan terakhir Muhajirin tiba dan bergabung dengan Ali bin Abi Thalib. Mereka mengisi malam dengan beribadah kepada Allah sampai fajar menyingsing. Para Fatimah mengagumi langit subuh yang bagaikan lukisan. Hadiah dari Dia Yang Mahamenakjubkan, yang menghamparkan langit biru dengan gradasi warna kekuningan dari cahaya fajar yang akan terbit. Bintang-bintang kecil masih berkelap-kelip, pun pendar cahaya sang rembulan, dan siluet pepohonan di kejauhan.