Ali pulang ke rumahnya dengan gundah gulana, ia ingin memboyong Az-Zahra tapi terlalu takut dan khawatir membuat sedih Rasulullah SAW karena harus berpisah dengan buah hati yang sangat beliau kasihi dan mengasihinya. Setelah wafatnya Khadijah, tak siapapun mampu menjadi pelipur lara selain Fatimah Az-Zahra. Ali mengetahui segalanya, dari waktu ke waktu ia mendampingi Rasulullah SAW, nyaris melekat dan selalu bersama-sama. Namun hubungan seorang ayah dan darah dagingnya, tak kan pernah bisa ditandingi oleh ikatan selainnya. Bolak-balik Ali memikirkan hal itu, tetap saja sulit menemukan jalan keluar.
Aqil bin Abi Thalib mengunjungi mempelai pria yang sedang gundah, lalu bicara dari hati ke hati dengan Ali. “Saudaraku, aku tidak pernah bergembira seperti kegembiraanku karena engkau menikah dengan Fatimah putri Muhammad SAW. Wahai saudaraku, mengapa kamu tidak memohon pada Rasulullah SAW supaya beliau mengantarkan Fatimah kepadamu sehingga beliau bakalan sangat senang melihat kalian berkumpul?”
“Demi Allah wahai saudaraku, sungguh aku sangat menginginkan hal itu namun aku malu memohonnya pada beliau.” Ali berterus terang.
Aqil gregetan, segera saja ia bangkit berdiri sambil berkata, “Aku akan menyumpahimu jika kamu tidak bangkit bersamaku.”
Dua bersaudara cucu Abdul Muthallib menyusuri jalan menuju rumah Rasulullah SAW. Di tengah jalan mereka berpapasan dengan Barakah, pelayan Rasulullah SAW. Ali dan Aqil menceritakan persoalan mereka kepada ibunya Aiman, dan meminta pendapatnya mengenai perkara tersebut.
“Biarlah kami yang membicarakannya dengan beliau,” kata Ummu Aiman. “Karena perkataan perempuan dalam perkara ini lebih mengena di hati lelaki.”
Kemudian wanita itu kembali ke arah ia datang, menemui Ummu Salamah dan memberitahukan kepadanya tentang urusan Ali bin Abi Thalib. Hari itu Barakah berkeliling mengunjungi rumah istri-istri Nabi yang lain, menyampaikan hal yang serupa. Pada hari yang telah disepakati, para istri Nabi SAW berkumpul di rumah Ummu Salamah. Rasulullah SAW ada di tengah-tengah mereka, sementara Ali yang telah diberitahu tentang pertemuan tersebut, menunggu di rumahnya dengan perasaan harap-harap cemas.
Perwakilan para istri Nabi SAW, Ummu Salamah, angkat bicara. “Semoga kami, ayah dan ibu kami menjadi tebusan Anda wahai Rasulullah SAW. Kami berkumpul karena sesuatu yang sekiranya dapat disaksikan oleh Khadijah niscaya dia pasti sangat senang.”
Sontak air mata bercucuran membasahi wajah Nabi SAW. “Khadijah, dan di mana lagi ada manusia seperti Khadijah? Ia membenarkan aku di saat manusia mendustakanku, menolongku demi tegaknya agama Allah dan membantuku dengan segala yang dimilikinya.”
Kerinduan tergambar nyata di wajah mulia Rasulullah SAW ketika beliau berkata, “Sebaik-baik wanita dari umatku adalah Khadijah binti Khuwailid.”[1]
Para istri menanggapi dan membenarkan kata-kata Nabi SAW, mereka bicara bergantian dan saling meneguhkan. “Semoga kami menjadi tebusanmu demi ayah dan ibu kami wahai Rasulullah, sungguh Anda tidak menyebut tentang Khadijah melainkan begitulah dia adanya. Beliau telah kembali ke sisi Tuhannya. Semoga Allah membahagiakannya dengan hal itu dan mengumpulkan kami dan dia dalam tingkatan-tingkatan surga-Nya, ridha serta rahmat-Nya. Wahai Rasulullah, inilah saudaramu dalam agama dan anak pamanmu dalam nasabnya, Ali bin Abi Thalib ingin menemui istrinya Fatimah dan berkumpul bersamanya.”