Kemarin, Hari Ini dan Besok

Ariq Ramadhan Nurgaha
Chapter #2

Kehidupan Baru

8 Agustus 2007

Sehari ini aku dan Bapak sudah berkeliling hampir 5 kali mencari alamat pabrik yang menawari Bapak bekerja, tapi hanya kata ‘tidak tahu’ yang kami terima, aku berbicara sepanjang jalan, menceritakan teman, sekolah dan rumah membuat kuping Bapak terlihat merah membara mendengar ocehan tidak bergunaku ini, jujur sedari kecil aku jarang selama ini dengan bapak, biasanya hanya 2 atau 3 jam kami bertemu, wajar jika aku tidak tahu apa apa tentang Bapak, dia seperti teman sekolah yang hanya bertemu pada saat istirahat.

Kami berdua terduduk didepan sebuah toko, kelelahan dan kehausan aku tidak tega meminta seteguk air kepada Bapak yang sudah bermandikan air keringat menutupiku dari ganasnya serbuan sinar matahari yang menusuk bak jarum dalam bentuk cahaya, kemejanya sudah menempel dengan badannya, kami turun ditempat yang benar juga dikota yang benar disepanjang jalan baik minimarket maupun rumah makan bertuliskan Surakarta tak terlepas dari pandangan kami yang terus berjalan. Tapi alamat yang kami tuju sangatlah sulit untuk ditemukan. Sudah pukul 4 sore, kami belum juga menemukan tempat tersebut, kami hanya bisa pasrah. Bapak terus menggenggam tanganku dan tas ditangan yang lain.

“Permisi buk.., saya ingin bertanya, kalau alamat ini ada dimana ya buk?” suara lembut Bapak terdengar bergetar dan berdehem kelelahan.

“Oalah, alamat ini ada disana loh mas, di dekat sana loh” si Ibu Ibu warung menunjuk kearah sebuah cerobong yang mengeluarkan asap hitam.

“Ohh iya, kira kira jauh gak ya bu?” Bapak bertanya lagi kepada ibu tersebut sembari mengusap peluhnya yang terus keluar.

Ndak kok Mas, palingan cuman 5 menitan tok kok” si Ibu berbicara dengan nada kencang.

“Ohh, iya terima kasih bu” Bapak yang menunduk dengan sopan.

Nggeh Mas, ndak minum dulu to Mas, kasian keringete akeh tenan?” Si Ibu menawarkan sebotol air mineral dingin, menyodorkannya ke arah Bapak.

“Dam, kamu mau minum?” yang bapak khawatirkan hanya aku, ia sendiri yang sudah sangat kecapekan diabaikannya.

“Boleh Pak.” tenggorokanku yang sudah kering sedari tadi ingin diguyur oleh.

“Boleh bu, 1 botol aja.” katanya sembari menyodorkan 1 lembar uang 5ribu

Bapak menyodorkan botol itu padaku, Kami berjalan lalu menaiki bus kecil yang searah dengan tujuan kami. kemudian Bapak melihat dompetnya yang sudah menipis. Meskipun aku masih berumur 5 tahun aku sudah paham kegelisahan beliau dengan uang yang kami bawa.

“Pak,” aku menarik baju Ayah, yang kupanggil Bapak.

“Ada apa nak?” melihat aku yang menarik bajunya, dia bergegas menutup dompetnya kemudian memasukkannya kedalam saku celananya.

“Bukain” aku kembali menyodorkan botol dingin itu, sembari tangan yang kuremas remas kosong menghilangkan ngilu ngilu dingin yang terasa setelah menyentuh benda dingin. Bapak membukanya untukku kemudian memberikannya kembali kepadaku.

“Weee.” aku memuntahkan air putih itu didepan matanya.

“Kenapa?” Bapak yang sempat menelan ludah ketika aku meneguk

“Airnya kok rasanya aneh?” aku mengeluh atas air yang aku teguk, sekedar membuat Bapak meminum setidaknya seteguk air, karena aku tahu Bapak tidak akan meneguk air tersebut karena takut aku kehausan dan kami sudah kehabisan air sebelum kami sampai ditempat tujuan.

“Ah masa sih” Bapak tahu aku berpura pura agar dia bisa minum, namun kepura puraan tidak tahunya bukan untuk keegoisannya yang juga mengalami kekeringan tenggorokan, tapi kepura puraannya untuk melatihku agar lebih peduli dan mempertahankan jiwa baik diriku, kami cukup sering bermain peran seperti ini ketika bertemu, jadi sudah terbiasa aku melakukannya.

“Engga, ahh ga ada yang aneh.” beliau mengembalikan botol itu dengan senyuman dan usapan dikepalaku.

Kami berhenti disebuah pabrik dengan tumpukan kayu dimana mana, disana banyak sekali mobil dengan ban ban yang seukuran 3 kali ukuran badanku, tidak ada wanita hanya laki laki dan laki laki, Dengan genggaman tangan yang berkeringat Bapak membawaku menghampiri seorang pria.

“Mas, kalau pak Chandra tuh yang mana ya?” Bapak dengan sopan bertanya.

“Ohh, pak Chandra?, didalam sana.” si pria menunjuk dengan sopan menggunakan ibu jarinya.

“Terima kasih Mas” Bapak membawaku masuk dan menemui seorang Bapak bapak bernama Chandra tersebut.

“Adam, adam tunggu disini yah, Bapak mau masuk sebentar.” ketika menemui pintu bapak melepaskan genggamannya, menyuruhku untuk diam didepan pintu bersama tas biru besar berisikan baju baju kami dan tidak ikut masuk, tentunya aku hanya bisa menurut dengan perkataannya.

Aku duduk didepan pintu mengayunkan kaki memutar lidah dan jari, berjalan memutar. Kadang aku mengamati dan mengikuti apa yang dikatakan laki laki yang ada didepanku, aku juga mengikuti gerakannya, hingga para pekerja pulang satu persatu sampai tersisa 1 orang, yakni aku sendiri yang masih menunggu, ada beberapa yang pergi kebelakang kesebuah pintu coklat yang lumayan besar, tentunya membuatku penasaran kenapa merekea kesana disaat separuh yang lain berjalan keluar, tapi mengingat pesan Bapak membuatku terantai dengan pintu yang dimasuki Bapak tersebut, Aku berusaha mengintip kejendela yang lumayan tinggi, aku berjinjit dan melompat tidak ada apapun, aku tidak bisa menggapainya. Akhirnya Bapak keluar dengan wajah sumringah berjalan keluar membuka pintu dengan senyumnya yang membuat ketampanannya semakin bertambah.

“Bapak dapet kerja, dam, nanti Bapak kerja disini.” Bapak menggendong aku yang berdiri terpatung didepannya.

Dibelakang bapak, seorang laki laki berkulit putih bertubuh gempal menghampiri kami berdua, beliau memberikan kami sebuah kunci dengan gantungan bernomor 103, apa artinya ada 103 orang didalam sana?

“Kalian boleh tinggal sementara di mess, messnya ada disebelah sana.” laki laki itu menunjuk kearah belakang, kesebuah pintu yang tadi beberapa pekerja masuk kesana.

“Terima kasih pak.” Bapak pergi membawa kembali barang tas besar kami yang berisikan baju kami.

Kami memasuki pintu tersebut, misteri pintu yang terlihat mencurigakan tersebut akhirnya terpecahkan, sekarang muncul misteri lain dikepalaku.

apa itu mess? Kenapa kami harus tinggal dalam mess?

Bapak berusaha membuka pintu mess tersebut dengan mendorongnya, kemudian menariknya sekuat tenaga, pintu tersebut menolak dimasuki kami berdua, dia dengan angkuhnya berdiri dihadapan kami enggan terbuka. Bapak berusaha sampai menimbulkan suara bising sebuah besi yang khas. Dari arah dalam seorang pria membantu bapak dengan menggeser pintu tersebut.

“Digeser Mas.” Ucapnya setelah pintu terbuka.

“Ahhh iya, terima kasih Mas.” Bapak terlihat kikuk dengan kelakuannya, ternyata dari dalam beberapa orang keluar melihat kami, membuat rasa malu yang melonjak tinggi menjadi pusat perhatian.

Kami bergegas memasuki kamar bernomor 103, untuk pergi dari tatapan tatapan mereka yang mengintimidasi mental kami yang diguyur rasa malu. Kami masuk kedalamnya dan menemukan sebuah kamar berukuran 3x5 meter dengan sebuah lemari disebelah pintu tersebut.

“Sementara kita tidur dulu disini yah, kalo libur kita cari rumah.” dengan menurunkan pangkuannya bapak meletakkan tas keatas sebuah kasur untuk 1 orang.

Lihat selengkapnya